•
•
•"Papa?" Laxi memandang Lexi dan sekretaris Hanz bergantian. "Jadi, makam ini makam papa? Makam papaku ...?" tanyanya mengulang kalimat, meminta kepastian, yang dibuahi anggukan oleh Lexi.
"Terus, di mana mama?" Laxi memandang sang kakak dengan tatapan menuntut.
"Mama masih hidup. Di suatu tempat." Ada getar kesedihan yang terselip dari nada bicara Lexi dibarengi sorot matanya yang kuyu.
"Suatu tempat?" Laxi menekuk alis semakin dalam. "Di mana? Ayo ke sana, kenapa kita malah di sini-Argh!" Laxi bersiap beranjak, melupakan keberadaan sekretaris Hanz di antara mereka. Namun, rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya membuatnya urung mengayunkan kaki. Pemuda itu justru jatuh terduduk di atas tumpukan daun-daun kering dengan kedua tangan senantiasa memegangi kepalanya. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum kasat mata.
"Lo kenapa?!" Lexi panik begitu melihat adiknya mengerang kesakitan seperti ini.
"Apa jangan-jangan ..." Sesuatu mendadak terlintas di pikiran Lexi bebarengan dengan kilasan-kilasan memori yang menyerbu ingatan Laxi bak film yang disetel ulang berulang kali.
Dalam benak pemuda itu, ada seorang anak laki-laki berusia enam tahun sedang duduk di ayunan di taman belakang rumah mereka. Sang ayah berdiri di belakangnya, mendorong ayunan perlahan sambil tersenyum melihat kegembiraan anaknya. Sementara itu, kakak perempuannya yang berusia tujuh tahun berdiri di samping ayunan, menunggu gilirannya.
"Lebih tinggi lagi, Pa!" teriak anak laki-laki itu, tertawa ceria. Mendengar tawa bahagia anak keduanya, pria itu ikut tertawa serta mendorong ayunan sedikit lebih keras, membuat anak laki-laki itu merasa seperti sedang terbang. Tawa kedua manusia beda generasi juga menular pada si kakak. Dia jadi tak sabar ingin merasakan ayunan itu juga.
Setelah beberapa menit, anak laki-laki itu merasa cukup dan turun dari ayunan. "Giliran kakak," katanya, memberikan ayunan kepada sang kakak yang berbinar antusias. Ayahnya beralih untuk mendorong kakak perempuannya, sementara anak laki-laki itu duduk di rumput, menonton mereka bermain sambil tersenyum lebar. Dari arah belakang, sang ibu muncul dengan senyum merekah. Di kedua tangannya ada nampan berisi empat gelas es jeruk dan setoples cookies.
Sayangnya kebahagiaan keluarga kecil itu hanya berlangsung sebentar sebab dalam hitungan detik, situasi telah berubah. Masih di tempat yang sama, anak laki-laki tadi tampak meraung-raung tanpa suara seakan dunia sedang dibisukan sementara. Memanggil kakaknya ketika tautan tangan mereka terlepas karena sang kakak ditarik paksa oleh pria asing.
Di sisi pria itu, sang ibu hanya bisa menunduk pasrah sementara ayahnya memandang kepergian istri dan putrinya serta pria asing itu dengan perasaan hancur. Anehnya, air matanya tak keluar seolah hatinya kebas mengetahui kenyataan paling buruk yang tak pernah ada di bayangannya.
Sang istri menodai cintanya. Ikatan suci yang mereka bangun selama hampir delapan tahun hancur begitu saja karena pengkhianatan istrinya.
Ketika akhirnya sang ayah mendekap putranya yang menangis keras, air mata pria itu jatuh juga.
Secepat kedipan mata, halaman yang selalu dipenuhi tawa bahagia itu berubah menjadi tempat di mana kehancuran bocah laki-laki itu dimulai. Bukan lagi pemandangan dirinya dan sang kakak yang bermain ayunan ataupun ayah dan ibu mereka yang sibuk menata makanan di atas karpet bergambar dinosaurus kesukaan bocah laki-laki itu.
Selain dirinya, pohon tempat ayunan menggantung adalah saksi bisu atas kematian sang ayah. Dengan kedua matanya, bocah itu menyaksikan sendiri bagaimana tali ayunan yang kokoh itu mencekik leher ayahnya hingga meregang nyawa.
Dalam keputus asaan, seorang pria muncul dan membawanya pergi ke suatu tempat asing yang tak pernah terlintas di pikirannya. Tempat itu tampak seperti rumahnya, tapi jelas itu tidak sama.
"Jaga dirimu baik-baik sampai kita bertemu lagi," kata pria itu, yang tidak bisa dipahami artinya oleh bocah enam tahun itu seolah kata-kata itu diucapkan dalam bahasa swahili.
Seperti halnya klip video yang dipercepat pemutarannya, adegan telah sampai pada ujung akhir dari ingatan ini. Di mana sepasang suami istri datang menjemput bocah enam tahun itu. Dua insan itu kembali menawarkan kehangatan keluarga untuknya yang sempat sirna.
Seiring wajah pasangan suami istri tadi memudar dari benaknya, Laxi ditarik kembali ke alam sadarnya. Mata remaja itu terbuka disertai nafasnya yang memburu. Keringat sebesar biji jagung menghiasi pelipisnya. Melihat wajah dua orang terakhir dalam kilasan memori tadi ada di hadapannya, menyadarkan Laxi sadar bahwa dia kini berada di ranjang kamar tidurnya, bukan lagi di atas tanah kuburan yang tertutup dedaunan kering.
Pandangan Laxi langsung tertuju pada Lexi yang tengah menatapnya juga. Setelah mengatur nafasnya, barulah si pemuda bicara, "Aku ingat sekarang. Aku ingat semuanya. Papa, Mama, Kak Lexi, Papa David, Mama Nitya dan ..."
Laxi menggeser netranya ke samping. "... Sekretaris Hanz." Suaranya memelan di akhir.
Si pemilik nama tampak tidak terpengaruh. Ekspresi wajahnya tak menunjukkan emosi apapun.
"Anda orang yang membawaku ke panti asuhan kan?" Laxi langsung menodong sekretaris Hanz dengan pertanyaan. Mengundang rasa penasaran Lexi dan orang tua angkat laki-laki itu. Ketiga orang itu saling berpandangan, tapi diantara mereka tidak ada yang tahu apa yang terjadi antara Laxi dan Hanz.
Diamnya sekretaris Hanz menunjukkan bahwa ingatan Laxi benar.
"Terima kasih. Berkat anda, aku bisa bertemu Papa David dan Mama Nitya," ucap Laxi tulus.
"Hanya itu yang bisa lakukan saat itu," tutur sekretaris Hanz terdengar abu-abu.
"Apa maksudnya 'hanya itu'?" Lexi bertanya-bertanya sejak dia melihat sekretaris Hanz ada di makam ayahnya. Ada hubungan apa pria itu dengan mendiang ayahnya?
Papa David dan Mama Nitya terlihat semakin bingung. Mereka menuntut penjelasan pada Laxi melalui sorot mata. Sepasang suami istri itu memang tak tahu asal usul Laxi. Begitupun dengan hubungan Laxi dan Lexi yang sebenarnya karena sejauh ini mereka mengira kedua remaja itu adalah teman satu sekolah.
Saat Nitya dan David mengadopsi Laxi, pihak panti hanya sekedar memberi tahu bahwa anak itu sedikit lebih pendiam dan pemurung dari anak-anak lain seolah dia menyimpan trauma besar.
Bahkan Laxi tak menyebutkan siapa namanya sehingga pihak panti memberinya nama Cakra yang diambil dari kata 'cakrawala'. Mengacu pada kebiasaan Laxi yang suka duduk menikmati senja di danau belakang panti dan akan beranjak saat langit berubah hitam. Namun, pada akhirnya, laki-laki itu memberi tahu namanya.
Seperti halnya Nitya dan David, Lexi juga sama bingungnya. Gadis itu menghujani tatapan penuh tanya pada sekretaris Hanz. "Anda punya hutang penjelasan soal keberadaan anda di makam papa."
Atas perkataan Lexi, semua perhatian kini tertuju pada sekretaris Hanz. Pria itu menarik nafas panjang. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan panjang yang pertama kalinya setelah dia menjadi seorang Hanz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge Of Alexi [ SEGERA TERBIT ]
Подростковая литератураDunia ini ibarat panggung sandiwara, siapapun bisa menjadi pemeran utamanya. Kali ini, Lexi lah yang memerankan posisi itu. Seperti 'katanya', Lexi harus memainkan perannya dengan baik untuk membalas orang-orang jahat itu. - Start : 16 Februari 2024...