4. You And My Deja Vu

32 7 2
                                    

"Cinta itu murni, bahkan ketika kedua raga sudah tak ada, cinta itu akan abadi membawa rasa yang setiap saat akan bersemi."

-Evina Dewi Khalan

***


Kegelapan mulai meluas di hamparan langit tak berawan. Bintang dan rembulan seolah lenyap termakan raksasa malam disusul angin kencang yang menerbangkan dedaunan gingko. Petir merah menyambar, dengan bunyi guntur bersahut-sahutan menghantam daratan Kerajaan Moure.

Dentuman dahsyat menggema melintasi cakrawala, membelah keheningan malam menjadi serpihan-serpihan keajaiban mempesona. Dalam setiap kilauannya, terpancar kekuatan maha dahsyat.

Setiap gemerincing petir menjadi nyanyian luhur alam semesta, menggambarkan kekuasaan dan kebesaran yang tak terbendung.

Semesta siap menyambut sang pemimpinnya.

“AAAAAAAAA SAKIT, HENTIKAN!”

Giselle tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin mendekat, tetapi melihat perisai magis yang menyelimuti seluruh tubuh Rey berhasil membuatnya mengurungkan niat. Lama-kelamaan perisai itu semakin besar. Bahkan hampir menyelimuti seluruh ruangan hingga membuat Gisella tersudut.

“Gawat! Bila terus seperti ini, tak akan ada yang selamat.”

Jderr!!

Suara petir terdengar keras, Giselle membawa tubuhnya untuk berlindung di sudut ruangan karena mendengar suara langkah kaki yang ia perkirakan lebih dari sepuluh orang.

Pintu kamar Argasier di dobrak kencang memperlihatkan perdana menteri beserta jenderal besar dan para prajurit yang tadi melapor pada mereka. Semua terkejut melihat pemandangan yang sangat menakjubkan itu, di mana tubuh sang pangeran melayang di selimuti perisai magis.

Alshar menatap lurus pada objek yang sedang melayang itu, sihir yang menyelimuti tubuh Argasier bukanlah sihir hitam. Sihir itu sangat murni dan suci.

Alshar melangkah mendekat dan berhenti ketika mencapai kilauan biru laksana aurora itu, ia mengulurkan tangannya dan terkesiap tatkala merasakan sentruman dari perisai magis yang menyelimuti tubuh Argasier.

"Apa sebenarnya maksud semua ini?" Alshar bertanya-tanya. 750 tahun ia hidup, baru kali ini Alshar menemukan sihir semacam ini.

Jika di lihat dengan sekilas, kita dapat menyimpulkan bahwa sihir yang berupa perisai magis itu adalah sihir suci yang sangat murni. Namun, jika lebih diteliti lagi, terdapat energi hitam dalam sihir itu. Energi yang hanya dimiliki oleh ras Iblis.

"Sepertinya ini bukanlah sihir dari orang lain, Perdana menteri. Sihir ini seperti menguar dari tubuh pangeran Argasier." kata Raymond yang berada di sampingnya.

"Tapi sihir semacam ini bukanlah sihir pangeran Argasier, Raymond. Penyihir hanya bisa menguasai satu element penting dari sistem Akuasisi yang ada. Mereka tidak bisa menguasai sihir lebih dari itu!" bantah Alshar. Raymond terdiam. Benar, mereka hanya bisa menguasai satu element saja.

Pria tua itu menoleh pada jendela besar yang memperlihatkan kilatan petir yang menyambar dengan sangat mengerikan. Raut wajah Alshar berubah rumit, kemudian mata hitam pekatnya menangkap siluet seorang berpakaian hitam yang sedang memanjat menara sihir.

"Raymond, lihat!" tunjuk Alshar. "Kerahkan sebagian prajuritmu untuk menangkap mata-mata itu! Tingkatkan keamanan di area istana!" titah Alshar.

Raymond menggangguk dan sedikit membungkuk sebagai tanda penghormatan yang di ikuti oleh beberapa prajurit di belakangnya. Lelaki jangkung itu kemudian bergegas pergi dari ruangan tersebut.

Alshar menghela nafas pelan, pria tua itu kembali memfokuskan pandangannya ke arah tubuh Sang pangeran. "Aku mungkin tidak bisa jika menghadapi semua ini dalam waktu yang lama, pangeran. Semenjak kematian putra mahkota, segala berita burung tersebar di kalangan masyarakat untuk menjatuhkanmu."

Alshar mengambil duduk di sudut ruangan yang merupakan tempat persembunyian Giselle. Peri itu hanya bisa terdiam dan mencoba untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.

"Aku tahu bahwa pangeran tidak akan pernah melakukan kejahatan Seperti itu. Apalagi dengan kakak pangeran yang sangat pangeran sayangi.  'Jika kakak adalah panah, maka aku adalah busurnya.' Itulah yang selalu pangeran katakan padaku ketika sedang mencoba menghiburmu yang menangis." kata Alshar bercerita. Ia merupakan saksi bagaimana menderitanya anak malang itu karena kasih sayang yang semu.

Waktu kecil, Argasier selalu mengalah untuk kakaknya. Ia akan terlebih dahulu mementingkan sang kakak di atas segalanya. Ayahnya yang seorang raja kerajaan Moure tidak mempunyai waktu untuk kedua anaknya, terlebih Argasier.

Kematian sang ibu seusai melahirkannya ternyata membuat sang ayah sangat terpukul dan melupakan mereka. Sang kakak juga sama, Arthur berpikir bahwa Argasierlah yang menjadi penyebab kematian sang ibu dan ketidakpedulian sang ayah.

"Kau akan mengambil kain ibumu dan tidur dengan memeluknya. Lalu aku akan datang dan melihatmu menangis kemudian memelukmu." Alshar mengusap setitik air mata yang tergenang di sudut matanya.

Giselle mendengar semuanya, ia bahkan sudah menangis dalam diam sekarang. Giselle pikir, hanya dia yang paling menderita di dunia ini karena harus pergi jauh dari kedua orangtuanya, ternyata tuannya juga sama menderitanya.

"Aku akan sangat bersyukur saat nanti kau terbangun dan kembali sehat. Tanggung jawab kerajaan Moure akan ku serahkan sepenuhnya kepadamu, pangeran. Aku sangat menyayangimu seperti putraku sendiri, untuk percaya bahwa kau adalah penyebab kematian putra mahkota aku tidak bisa." kata Alshar.

Perlahan, perisai magis yang menyelimuti tubuh Argasier memudar dan menciptakan percikan-percikan indah yang tak berarti. Tubuh Argasier kembali turun ke tempat tidurnya.

Alshar mengucap syukur dalam hati, ia bergegas mendekat pada tempat tidur sang pangeran. Alshar mengambil tangan Argasier dan hangat, suhu tubuh pria jangkung itu hangat dan deru nafasnya kembali normal.

"Syukurlah pangeran, sihir itu tidak sampai merenggut jiwamu. Terimakasih karena sudah bertahan, terimakasih." Alshar menggenggam tangan kanan Argasier yang hangat dan meletakkannya di kening pertanda rasa syukur.

Namun, Alshar merasa genggaman itu berbalas. Pria tua itu mendongak dan terkesiap karena mendapat tatapan tajam dari sepasang retina biru laut milik Argasier.

Genggaman itu semakin menguat membuat Alshar meringis dan mencoba melepaskan tangannya.

"Beraninya," seru geram itu membawa Alshar menatap kembali pada mata biru sang pangeran yang sekarang sudah berubah menjadi merah.

"P-pangeran?" Alshar mencoba mengeluarkan suara walau tercekat. Sosok di depannya seperti bukan Argasier yang ia kenal selama ini.

Argasier mengangkat pandangannya hingga bersitatap dengan netra hijau Giselle. Tatapan yang sangat dalam sarat akan kerinduan yang terobati.

Dalam sekejap mata merah Argasier berubah menjadi biru laut yang jernih, pria itu terlihat linglung dan langsung melepas genggaman eratnya pada lengan keriput Alshar.

"Ah, maaf, apa yang ku lakukan sebenarnya?" tanya Argasier pada dirinya sendiri. Ia mengangkat kedua tangannya dan membatin dalam diam. Raga ini bukanlah raganya, jiwa di dalam raga ini juga bukan jiwanya sepenuhnya. Ada orang lain.

Alshar yang masih dalam keterkejutannya itu perlahan mulai mengontrol diri, pria itu berdiri dari posisi bersimpuh dan sedikit membungkuk.

"Maaf, pangeran. Sepertinya anda perlu istirahat yang cukup, saya akan pamit undur diri. Salam kepada pangeran bungsu kerajaan Moure." Alshar membungkuk sebagai tanda penghormatan kemudian ia mengambil langkah panjang meninggalkan Argasier yang sekarang tengah menatap kepergiannya dengan bingung.

"Jadi, aku bertransmigrasi, ya?"

Bersambung
_o0o_

HIRAETH [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang