8. Aula Mencekam

11 4 0
                                    

"Jangan terlalu obsesi kepada hal yang tak pasti, terkadang apa yang kamu dengar belum tentu benar."

-Reygan Bragaswara

***

"YANG BENAR SAJA!"

"Itu adalah Artefak suci, Tristan!"

"Kita tidak boleh sembarangan menghancurkannya begitu saja!"

"Jika kita menghancurkannya, itu hanya akan menjadi bencana untuk kita! Aku tidak menerima usulanmu itu!"

"Hei, tenangkan diri kalian." Kata Tristan mengangkat kedua tangannya agar teman-temannya tetap tenang. "Aku tidak berkata bahwa kita sendiri yang akan menghancurkannya."

"Lalu, apa Artefak itu akan menghancurkan dirinya sendiri?" Sinis Barack, Vampir dengan watak keras dan bermata merah menyala itu.

Tristan menyeringai, ia mengambil sebuah gelas dan sebotol minuman anggur kemudian menuangkannya pada gelas kecil itu.

"Biarkan Pangeran kita yang akan menghancurkannya sendiri." Kata Tristan dengan meneguk habis minuman anggurnya.

***

Giselle terbangun dari tidurnya yang mendadak, peri itu menatap sekeliling di mana ia hanya melihat hamparan hijau taman dan merah mawar di ujung lapangan.

"Di mana Pangeran?" Gumam Giselle bertanya. Ia terbang menuju pintu belakang istana sang tuan. Ketika Giselle akan masuk, ia mendengar suara sekelompok wanita yang saling berbicara.

"Para pelayan? Mengapa Pangeran mempersilahkan mereka masuk?" Giselle mengintip lewat lubang yang berada di atas pintu, wanita-wanita itu adalah pelayan sang tuan yang bertugas untuk menyiapkan segala kebutuhannya.

"Bukannya Pangeran tidak suka, ya, jika para pelayan itu datang untuk membantunya bersiap. Biasanya, dia akan menolak kedatangan mereka dengan sopan." Giselle menipiskan bibirnya dan berbalik kembali menuju bangku panjang yang menjadi tempat tidurnya tadi.

Giselle benar-benar tidak ingat apapun, ia merasa hanya baru bangun tidur saja.

"Aku berpikir apa, sih? Pangeran sudah seharusnya di layani oleh para pelayan itu dengan baik." Giselle menepuk kecil kepalanya, ia mengambil duduk di kursi panjang itu dan mengayunkan kedua kakinya pelan.

"Tapi, ini sedikit aneh. Pangeran Argasier sangat mandiri dalam setiap hal yang di lakukannya. Sifat dan cara bicaranya juga sangat lembut, tidak kasar dan bernada tinggi seperti sekarang."

Giselle menatap lurus pada kejauhan di mana terdapat pohon-pohon lebat yang menjadi tempat persembunyian para musuh mereka, "Apakah sihir itu berhasil?"

"HEI, PERI!" Giselle menoleh pada sang tuan yang saat ini tengah berjalan menghampirinya.

"Kau sedang apa di sini? Sudah pingsannya?" Rey terkekeh dan ikut duduk di sebelah Giselle kemudian ia mengambil buku yang masih terbuka di atas kursi panjang itu, membolak-balikannya tanpa minat.

Giselle menggeleng. Ia mengepakkan sayapnya terbang untuk meraih bahu lebar Argasier agar bisa ia duduki.

"Pangeran terlihat sangat rapi, apa Pangeran akan pergi ke suatu tempat?" Giselle bertanya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah sang tuan.

"Aku akan ke aula istana sebentar lagi, maka dari itu aku kemari untuk mengajakmu pergi juga." Jawab Rey, pria itu menoleh ke samping kanan di mana Giselle duduk di bahunya membuat wajah mereka berdua sangat dekat.

HIRAETH [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang