Side Story (4) CEMAS

162 13 5
                                    

Tangan Haibara menggenggam telapak putihnya erat, Nanami mendelik heran. Ia tatap pemuda itu dalam diam sembari tuntut penjelasan walau tak berkata.

Namun alih-alih peroleh kejelasan itu, ia malah mendapati tawa lebar dengan mata yang menyipit sebagai tawaran. Nanami balas genggaman Haibara.

"Ada apa?" tanyanya pelan, memujuk pasti.

Netra jauh yang menyenjak kehidupan asing Sang Remaja tak buat satupun jawabannya teringin bicara. Haibara justru membaringkan kepalanya ke sebelah lengan Nanami dengan dalih tanpa upaya agar ia diusap-usap lunak.

Nanami menuruti, dia cengkram tengkorak anak laki-laki itu kian memainkan rambutnya halus. Sementara yang memanjakan diri terus-terusan tutup mata tanpa ingin pudarkan senyum.

Tak seberapa lama, Haibara raih pergelangan Nanami lalu melingkarkan jemarinya di sana 'tuk biarkan mereka turuti pergerakan acak manusia pirang favoritnya.

Sesekali Nanami perhatikan bocah itu, cara napasnya menderu, cara rambutnya berjatuhan, cara matanya tertutup, cara senyumnya yang enggan hilang.

Maka menghangatlah atmosfer iri dengki Nanami dengan perasaan asing yang sukar mampu diterima jiwanya.

Perasaan yang ia kira warnanya merah, ternyata emas.

Bak musik iringan piano malas diam, bak musik dengan piringan hitam beserta nada-nada jatuh cintanya.

"Nanamin," panggil Haibara bubarkan laut pikir.

Ia berdehem, tanda pinta Penutur tuk lanjut kata.

Diamnya Pemuda itu sebentar lumayan buat khawatir. Cukup lama Nanami menunggu sampai ia lihat kelanjutan yang belum setengah.

Haibara buka matanya, tilik coklat berderu suarakan hangat—menatap Nanami seketika sampai ia rasa ia bungkam.

Sorot barusan punya banyak arti. Mana yang benar - mana yang salah tidak Nanami ketahui. Baru saja dia putuskan bertanya lagi, buka suara Haibara sudah mendahului.

"Kamu merindukan ku?"

Nanami bingung. Tak seberapa lama bagian dalam jiwanya hancur. Ia tak bergeming sensasikan bagaimana ketidaktahuannya merusak diri.

Oh tidak, Tuhan.

Batinnya dengan rasa yang sudah di puncak.

Tolong jangan biarkan ia ingat—jangan biarkan ia makan racunnya lagi.

Anak laki-laki itu perlahan bangkit, ia berdiri lantas mendekat. Dibisiknya satu penuturan sampai Nanami tak dapat lari bahkan dari pikirannya sendiri. Ia lumpuh daripada manusia yang lumpuh.

"Tapi kamu sudah cukup, Nanamin." bisik Si Mentari menjauh sedikit 'tuk beri senyum sesaat.

"Kamu sudah cukup."

Buliran bening menggelinding tak tentu arah. Napas Nanami mulai menyesak tidak jelas kala netranya menatap dengan arti.

Pengulangan kalimat Haibara adalah pertanda dunia sudah berakhir—pertanda dunia Nanami hancur bertaburan.

Bibir pucat Si Pirang-pun bergetar, jemarinya mulai semakin putih—ia sadari tubuhnya perlahan jadi abu-abu transparan. Terlihat tapi ia hilang pelan-pelan.

Dia genggam lengan bocah berambut coklat mangkok itu dengan takut jadi anggota seraya merintihkan namanya. Dia tau, dia akan hilang.

"Haibara!" sentak Nanami, seseorang yang harus jadi manusia tak beri jawab.

Dia semakin frustasi, dia berteriak lagi. "Haibara!" harap-harap ia juga mendapati perlakuan sama.

Harap-harap ia tidak bicara sendirian di ruangan kelas ini.

Would Never Fall (GOJO X NANAMI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang