EPILOG

169 15 127
                                    

Siang ini, setelah keluar dari ruangan Bang Fadhil untuk membahas masalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang lebih besar, aku berjalan ke arah pantry.

Aku mulai merebus air untuk membuat kopi. Setelah menginjak usia dewasa, aku mulai berteman akrab dengan yang namanya kopi.

Kalo gak minum kopi sehari saja, kepala ku bisa berdenyut pusing.

Selesai menyeduh air yang telah mendidih ke dalam cangkir yang telah ku isi kopi dan gula sebelumnya, langkah kaki ku bergerak menuju ruanganku.

Aku di tempatkan Bang Fadhil sebagai manager perencanaan, menggantikan manager sebelumnya yang mengundurkan diri dengan alasan memilih fokus mengembangkan tanah di kampung halamannya untuk dia tanami sayuran.

Entahlah, aku pun gak terlalu paham, apa dia beneran mau jadi petani atau berubah jadi juragan kos-kosan dengan mengubah tanahnya menjadi kos-kosan sepuluh pintu.

Baru saja keluar pantry, langkahku dipaksa berhenti saat sepasang kaki berdiri tepat di hadapanku.

Aku mengangkat pandangan yang sebelumnya fokus menatap lantai.

Betapa terkejutnya aku bertemu dengan muka yang sangat ku kenal.

Marlo, si laki-laki berjiwa perempuan itu berdandan ala executive muda lengkap dengan dasi yang selaras dengan warna jasnya.

Aku senang bukan main, bertemu Marlo yang menjadi teman dekatku di kelas tiga SMA kayak mendapatkan semangat baru untuk hidup lebih baik.

"Jangan banyak-banyak minum kopi, Di," katanya dengan menampakkan deretan giginya saat tersenyum lebar ke arahku.

"Marlo!! Apa kabaaarr ...," kataku setengah berteriak yang langsung memeluk tubuhnya dengan satu tangan, karena tangan ku yang lain berisi secangkir kopi.

Marlo lekas membalas pelukanku hangat, menggoyang-goyangkan tubuhku pelan, ke kiri dan ke kanan.

Oh, dia lupa kalo aku lagi megang kopi panas. Bisa-bisa tanganku melepuh terkena tumpahan kopi.

"Gue baik, Diandra. Baik banget. Lo, apa kabar? Sebulan lulus SMA lo kayak ditelan bumi, ilang gak berjejak," cerocosnya setelah melepaskan pelukan kami.

"Hahaha ... sorry, yaa. Gue bener-bener harus fokus kuliah. Hape gue sempat di sita bokap dulu untuk satu semester biar kuliah gue gak main-main."

"Dih, bokap lo. Serem banget."

"Sekarang udah gak serem, Marlo. Sekarang bokap gue udah gak bisa ngapa-ngapain, bokap gue sakit karena kecelakaan pesawat."

"Ouh, sorry to hear that." Marlo memasang tampang sendu, aku menggeleng cepat. Itu sudah lama berlalu dan bukan hal yang bagus untuk diingat.

"No, itu kejadian udah lama, gak ada yang perlu di sesali juga."

"Malah sekarang bokap gue udah baik banget sama gue, dia udah mau senyum kalo liat gue, pokoknya gue bersyukur sekarang."

"Iya, ingat, setiap musibah pasti ada hikmahnya," timpal Marlo memberi semangat.

"Ngomong-ngomong, lo, ngapain ada di sini? Lo ngelamar kerja di sini?" tanya ku yang sedari tadi juga penasaran dengan keberadaan Marlo.

"Iihh, enggak, Di. Enak aja orang manis gini ngelamar kerja. Gue dapat kerjasama jadi model brand parfume dari perusahaan ini."

"Oohhh, elo yang jadi model barunya? Lo sekarang model?!"

"Yaampun, iya dear ... gue sekarang model. Gimana?? Muka gue cucok meong 'kan kalo bersanding sama model papan atas yang ada di fashion show luar negeri itu?" tanya Marlo antusias sambil menggerak-gerakkan tubuhnya ke depan dan belakang.

Ti amo [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang