─membayangkan menjadi bagian dari hidupmu saja sudah membuatku bergembira
bagaimana jika itu benar adanya? Mungkin seisi dunia bisa ku peluk
tapi, pada kenyatannya khayalan hanyalah sebatas khayalan
aku tidak berani melangkah lebih jauh
melihatmu dalam keadaan yang baik-baik saja sudah bisa menarik satu senyum di wajahku─
≈Ti amo≈
Aku ber-dadah ria penuh semangat saat mobil Oma keluar dari pekarangan rumah. Huft, rasanya semua beban berat yang dari tadi aku pikul lenyap sudah. Oke, sekarang saatnya aku ke kamar, main bersama anak-anakku, eh, maksudnya baca novel-novel yang aku beli kemarin bersama Mitha dan Gea. Baru saja berbalik badan, suara berat Papa lebih dulu menginterupsi langkahku. Hm, apalagi yang mau dibilang Bapak Andreas ini, ya Tuhan ...
"Mulai sekarang, Papa gak mau tahu, Di. Kamu harus mengikuti kelas olimpiade itu. Sesekali, buat Oma bangga padamu, bukan hanya kehebohan dan tentang basket mu itu saja yang harus Oma dengar," kata Papa yang kini telah berdiri di sampingku.
Kan, benar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Papa yang bilang ke Oma tentang aku ikut dalam olimpiade itu.
Papa lagi-lagi seenaknya sendiri, pengen aku gedig palanya.
Sabar, Di, orang tua ...
Ku ubah arah pandangku menatap Papa yang ada di samping kiri . Wajahku sudah kubuat mode sedih, seperti orang-orang yang tidak makan berhari-hari, berharap setidaknya Papa luluh dengan melihatku.
"Tapi, Pa. Diandra lemah banget di pelajaran matematika. Papa juga tahu. Ikut pelajaran biasa aja Diandra kesusahan, apalagi ikut pelajaran khusus olimpiade. Diandra gak bisa, Pa."
"Tidak ada kata tidak bisa, Di. Kamu hanya kurang belajar saja. Kamu tidak selalu sungguh-sungguh jika menyangkut pelajaran. Yang kamu tahu hanya berkumpul bersama teman-teman basket kamu yang tidak jelas itu. Kamu-"
"Udah, Pa. Bukan Diandra gak mau belajar, di sekolah Diandra juga udah usaha untuk lebih fokus. Terus, gak ada yang salah sama basket dan teman-teman Diandra, basket pun ada nilai tambahnya biarpun gak sebanyak ikut olimpiade." Aku memotong kata-kata Papa yang menusuk jantung. Mau mati-matian gimanapun membela kesukaan dan hobiku, Papa tetap tidak peduli.
Aku juga bisa marah, anak bungsu yang kekurangan kasih sayang seorang Papa ini juga bisa marah. Ku hentakkan kakiku kesal dihadapan Papa dan berlari masuk ke kamar yang menjadi tujuanku.
Aku tidak peduli lagi, mau Papa marah setelah ini denganku, terserah. Bukan hak Papa untuk marah, sekarang hakku untuk marah dengan Pak Andreas ini.
Sampai di kamar, ku hempaskan badan ini ke atas kasur. Aku menangis, menumpahkan semua rasa sesak dan rasa gak adil yang ku rasakan selama menjadi bagian dari keluarga ini.
Lama menangis dengan posisi tengkurap buat dada ku jadi sakit, aku ganti posisi, kini berbaring menghadap langit-langit kamar dan kembali menangis dari sudut mata.
Sial, padahal aku udah janji untuk gak nangis lagi di semester ini. Janji yang ku buat dengan diriku sendiri. Tapi, ingat Oma dan Papa buat aku lagi-lagi jadi cengeng.
Aku benci nangis, karena mukaku jadi jelek. Gak lagi jadi Diandra cantik.
Apa hanya aku, si bungsu yang gak dapat kasih sayang seorang Papa?
Ku pikir-pikir, najis banget untuk nangis yang berlebihan begini. Sampai air mata kering juga Papa gak bakalan berubah. Gak bakalan berubah jadi sayang aku.
![](https://img.wattpad.com/cover/359171923-288-k625166.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ti amo [SELESAI]
Fiksi RemajaDiandra si anak perempuan yang menyukai seorang anak laki-laki bernama Aleandro, seorang siswa kelas unggulan yang selalu mendapatkan berbagai prestasi di sekolahnya. Sementara Diandra hanyalah siswi yang biasa-biasa saja malah tidak pintar sama sek...