33

122 9 0
                                    

Mary tidur dengan tenang di sebelah ibunya. Kenneth sedang menyesap teh sendirian ketika Archer kembali ke Witchave setelah menyelesaikan urusannya di Istana Raja bersama Panglima Cedric. Kenneth tersenyum melihat Archer yang berdiri di ambang pintu, berbeda dengan Archer yang menatapnya dengan gamang.

"Ayolah, jangan seperti itu. Jangan ada kesedihan dari wajah raja muda. Kemarilah, kita harus merayakan hal ini."

Archer mencoba tersenyum lalu menghampiri ayahnya dengan langkah gontai. Lelaki itu memperhatikan ayahnya yang sedang menuangkan teh untuknya. Sejenak, ia memperhatikan wajah seorang Kenneth Days dari jarak yang begitu dekat. Ayahnya tersebut sudah tua rupanya.

"Apakah tidak ada arak?" Godanya saat Kenneth menyodorkan secangkir teh padanya.

"Tak ada arak di sini. Lagi pula, ayah sudah berhenti minum arak belasan tahun yang lalu. Ibumu akan marah - marah bila ia mencium bau arak di sekitarnya." Ia terkekeh pelan, membuat Archer juga mengikutinya. Untuk beberapa saat, mereka terjebak dalam keheningan. Pandangan Archer terjatuh pada ranjang raja yang sekarang sudah penuh ditempati oleh ibu dan adiknya.

"Sekarang Mary menguasai ranjangmu juga." Ujarnya pelan. Kenneth ikut menoleh. Sedetik kemudian ia tersenyum.

"Biarkan saja. Ayah bisa tidur dimana saja. Saat kau sudah semakin tua dan memiliki keluargamu sendiri, kau akan memahaminya. Kau pasti juga akan memiliki naluri untuk mengalah kepada anak - anakmu, apalagi itu menyangkut hal sepele. Namun ingat ini baik - baik. Bila kau benar - benar bertaruh untuk memiliki anak kedua, kau harus memperhatikan jarak lahirnya. Dulu ayah dan ibumu kerepotan mengurusmu dan Mary karena jarak kalian sebenarnya tiga tahun kurang."

"Ayah, aku bahkan belum berpikiran untuk menikah."

"Namun suatu hari nanti, hal tersebut pasti terjadi. Menurut pengalaman ayah, pemikiran untuk menikah akan semakin kuat menjelang kenaikan takhta. Bukankah kau akan naik takhta sebentar lagi?"

"Yang benar saja. Selera humor ayah sangat buruk." Archer menertawainya.

"Ayah hanya mengingatkanmu, Archer. Ayah sama sekali tak menekanmu karena ayah tahu bagaimana muaknya ayah dulu saat ayah ditekan habis - habisan untuk segera menikah. Ayah berterima kasih pada diri ayah sendiri untuk tak mendengarkan kemauan orang lain dan mencari wanita ayah sendiri. Lalu ayah bertemu ibumu." Ujarnya berbunga - bunga.

"Itu adalah bagian manisnya."

"Sangat manis hingga dalam hitungan minggu saja, ibumu sudah mengandung. Itu adalah satu - satunya kesalahan yang tidak akan ayah sesali seumur hidup, sekalipun ayah perlu terburu - buru menyiapkan pernikahan. Bayi yang dulu membuat kami was - was kini akan menjadi raja."

"Jadi aku..." Archer membelalakkan matanya. Kenneth hanya tersenyum iblis sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Apa - apaan ini? Setelah 20 tahun aku hidup, aku baru saja mengetahui fakta semacam ini." Ia menggeleng sembari tawanya.

"Ayah perlu membuatmu tertawa supaya kau tak terlalu tegang menuju hari pelantikan. Bagaimanapun juga, kita tidak akan bertemu dalam waktu yang lama. Ayah hanya ingin memastikan kau berangkat dan pulang dengan hati yang bahagia."

"Apakah ayah dulu juga seperti ini?" Tiba - tiba Archer terdengar sangat serius sehingga Kenneth menoleh padanya.

"Maksudmu?"

"Apakah dulu ayah juga meragukan diri ayah sendiri? Apakah ayah merasa bahwa ayah merasa tidak pantas menjadi raja? Maksudku, perasaan semacam itu." Archer menjabarkannya dengan skeptis.

"Tentu saja. Ayah takut menjadi raja, ayah merasa ayah belum semahir itu untuk naik takhta, ini itu, banyak sekali. Namun ingat kata - kata yang selalu ayah tekankan kepadamu sejak dulu. Satu - satunya cara menghadapi hidup adalah menjalaninya." Kenneth menekankan kalimat terakhirnya.

THE DAYS : Season 2 - Home Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang