Ikhtiar18

715 161 26
                                    

17.19
Waktunya pulang sudah lebih 19 menit. Memang, tidak ada yang pas jam 17.00 sore para karyawan beranjak pulang. Minimal lewat 5menit mereka akan bersiap, menutup laptop masing-masing, merapikan berkas diatas meja, berhaha-hihi sejenak sebelum berpamitan kepada sesama rekan kerja.

"Yuk pulang!"

Beberapa lewat didepan meja Prilly menyapa sambil mengajak mengakhiri kerja.

"Iya kak, silahkan," Prilly mengangguk, tidak bergegas beberes.

"Nanti tunggu saya..."

"Nanti sebelum pulang, tunggu saya!"

"Pulang nanti mau bareng gak?"

Setiap kali Ali berkata ia tidak pernah menjawab, biasanya ia tinggalkan seolah ia memang tidak mau menunggu. Ia-pun sebenarnya beberapa kali menolak Saka ketika mengirim pesan ingin menjemputnya.

Sudah mau pulang gak? aku lewat kearah kamu ni

Aku masih ada yang diselesain, duluan aja

Lain waktu, Saka mengirim pesan lagi.

Aku sudah didepan kantor kamu loh

Sorii, aku bawa motor hari ini

Ada saja alasannya menolak Saka. Bahkan jika Saka mau main kerumah, ia juga mencari alasan agar Saka membatalkan niatnya.

Sori, aku lagi dirumah teman

Seringkali juga ia tidak menerima panggilannya, ia sedang tidak rajin berbasa-basi. Jika menerima-pun, ia yang seringkali memutuskan mengakhiri obrolan.

Udah magrib, aku mau siap-siap sholat dulu ya

Prilly sangat tahu bagaimana rasanya sedang berikhtiar. Ia berusaha menolak secara halus terhadap usaha yang ditunjukkan Saka. Buat apa menimbulkan harapan? Bukan menutup diri tapi memang ia merasa hati tidak bisa dipaksakan. Itulah sebabnya ia begitu kesal saat Ali dengan mudah berbaik-baik pada orang lain. Kalau memang sudah tanggung jawab tidak masalah. Tapi kalau hanya sekedar agar memudahkannya, itu terlalu berlebihan. Lagipula mau sampai kapan mengkhawatirkannya. Dan buat apa juga terlalu peduli pada orang yang sudah jelas-jelas ditolak mentah-mentah?

17.31
Ruangan sudah mulai lengang. Terakhir lewat pak Surya dan beberapa staf dibelakangnya. Harusnya sebelum lewat 31 menit begini Langit menghampiri meskipun ia menolak dengan cara mengatakan menggunakan kendaraan sendiri atau bahkan ia tinggalkan begitu saja karna kelamaan. Kemana Langit? Ia mengarahkan pandang keruangan Langit yang masih benderang.

"Nona Prilla, tadi saya keruangan pak Langit mau beresin sampah seperti biasa tapi diketuk-ketuk gak ada sahutan, terus saya intip kok saya lihat pak Langit gak gerak," tutur mang Diman membuat Prilla sedikit panik mendengar kata terakhirnya. Tidak bergerak.

"Kenapa mang Diman malah kesini bukannya langsung dicek?" Ucap Prilly terdengar khawatir.

"Saya takut kalau sendirian non, untung non masih belum pulang, bagaimana kalau non yang bantu cek, mamang ngikutin non," saran mang Diman.

Sempat terpikir dalam benak Prilly apakah ini akal-akalan Ali saja agar ia tidak meninggalkannya duluan? Karena dengan datang kesana pada akhirnya Langit akan berhasil menahannya pulang duluan sebelum ia menyelesaikan pekerjaannya.

"Tolong bantu ya non, sekarang sudah gak ada siapa-siapa, kalau ada apa-apa nanti gimana, non?"

Wajah mang Diman menunjukkan kebenaran yang ia ucapkan. Kalau akal-akalan terlalu bagus mang Diman berakting.

'Coba sih dilihat dulu, kalau sengaja biar didatengin kenapa juga? Bukannya kalau datang sendiri tanpa alasan lebih gengsi?'

Prilla akhirnya mengangguk dan melangkah diikuti mang Diman keruangan Ali. Makin mendekati, Prilla makin merasa jantungnya berdegup. Ruangannya terang, sedikit tertutup tirai dari balik kaca.

Sebelum masuk ia mencoba memgetuk. Memang tidak ada sahutan dari dalam, Prilly mulai mendorong pintu.

"Pakk?"

Diiringi Mang Diman Prilly mulai memasuki ruangan itu. Terlihat Ali tersandar dikursinya dengan mata tertutup. Agak panik, ia menyeret langkahnya lebih cepat. Ia berpikir positif Ali hanya tertidur tapi tumben juga tertidur, sangat lelahkah?

Prilla mendekatkan jari keujung hidungnya. Nafasnya terasa hangat. Ia melihat gawai yang terjatuh dipangkuannya. Prilla mengambil untuk menyingkirkan benda itu dan mengamankannya diatas meja. Entah karna tersentuh, layarnya menyala lalu terlihatlah walpaper yang membuat pupilnya melebar. Gambar dirinya yang diambil diam-diam dibelakang laptopnya. Namun Ada yang lebih membuat ia bergerak menyentuh dahinya dari pada speechless, Suhu tangannya ketika tersentuh. Panas. Bukan hanya dahi iapun menyentuh pipi dan lehernya.

"Abang AKU, kamu sakit?"

Tubuh itu bergerak. Membuka matanya perlahan. Agak perih Ali mengerjapkan kelopak mata yang sedari sebelum melayang hilang sadar menghangat. Matanya terlihat memerah tanda ia benar-benar tertidur. Mengumpulkan kesadaran sampai sempurna penglihatannya ia melihat bayangan didepannya. Tubuh itu menjulang dan membuatnya melonjak.

"ILY, kenapa disini?"

Lensa mereka sesaat terkunci tatap. ILY. I Love You. Rasa kelopak yang hangat jatuh menyisir sampai kedada. Menyebabkan denyutannya menjadi cepat.

Lub bub. Lub bub. Lub bub. Detak jantungnya bukan lagi dug dug dug.

"Kalau lelah cepat pulang pak, bapak butuh istirahat, bapak demam!"

Prilly mengurai suasana yang tegang dengan kalimat yang tadi sempat tercekat ditenggorokan. Ali mengusap wajah dengan kedua tangannya. Banyak pikiran. Kurang tidur. Tubuhnya terasa tak nyaman. Demam. Demam cinta.

"Permisi, berarti aman, saya ijin mengumpulkan sampah ya pak Langit."

Suara mang Diman makin memecah hening. Tanpa dijawab, OB senior itu mengambil plastik tempat sampah didekat meja Ali kemudian memasukkan kedalam kantong plastik hitam lebih besar ditangannya yang sudah menampung sampah dari ruangan yang lain.

"Saya permisi membereskan ruangan lain, pak Langit, non Prilla," pamit mang Diman harus melanjutkan tugasnya sebelum ia pulang terakhir setelah tidak ada lagi karyawan lain selain security shift malam yang tertinggal.

"Terima Kasih, mang Diman," ucap Prilla.

"Saya yang terima kasih karna nona sudah menemani saya mengecek keadaan pak Langit," sahut mang Diman, memperjelas bagi Langit kenapa mereka bisa berada diruangannya.

"Terima Kasih, mang," Ali-pun mengucapkan terima kasih sebelum mang Diman mengangguk dan mundur teratur.

Berdua saja membuat ruangan kembali hening. Detik jam didinding seirama dengan detak jantung mereka.

"Mau pulang sekarang?" Langit bertanya sambil membereskan mejanya yang tidak terlihat berantakan karna laptopnya sudah tertutup.

Agak sempoyongan saat berdiri membuat Prilly repleks menyentuh lengan Langit. Akhirnya terjadi juga adegan seperti difilm-film romance, kalau dislow motion lebih dramatis lagi karna berakhir saling menatap.

"Hati-hati, pak!"

Ia merasakan suhu tubuh Ali yang memanas dan wajahnyapun agak memerah. Tadinya ia ingin beranjak setelah kepergian mang Diman namun ia agak mengkhawatirkan keadaan pria itu.

"Bapak yakin bisa mengemudi sendiri dalam keadaan seperti ini?"

Cepat Prilla melepaskan tangannya yang menyangga tubuh Ali yang lebih berat dari pada dirinya.

"Ya, bisa, saya tidak apa kok!" Langit nampak tidak begitu rela kehilangan momen yang sangat langka, mendapat perhatian Prilla.

"Tapi saya jadi kuatir kalau bapak yang mengemudi apakah bisa konsen? Mau saya bantu, saya yang bawa mobilnya?"

Pertanyaan Prilly membuat Ali merasa surprise.

"Itu artinya kamu mau pulang bareng saya?"

-------------
Banjarmasin, 29 Maret 2024
18 Ramadhan 1445H
13.35 wita

Ikhtiar Mengejar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang