Ikhtiar17

823 154 38
                                    

"Kerjaan nggak beres, manajer macam apa yang cuma mau ngurusin satu orang?" Rutuk Reni sambil mengunyah makanan.

"Ibukan sudah hebat ngapain mau diurus lagi?" Sahut Radit yang menemaninya kekantin.

"Kamu nyindir apa gimana?" Reni mendelik.

"Lah, salah kalimat saya dimana, bu?" Seloroh Radit merasa tidak ada yang salah dengan kalimatnya.

"Radit, kamu sebenarnya berpihak kemana sih? Kalau gak butuh aja, bisa saya tendang kamu!" Ancam Reni sambil menunjuk wajah Radit dengan sendoknya.

"Ibu juga aneh, yang diurusin mereka melulu, padahal kerjaan ibu begitu banyak," sahut Radit lagi polos. Antara polos dan pura-pura polos. Sebab cukup muak juga dengan Reni yang selalu ngebossy. Tapi menguntungkan juga jika diajak makan yang berarti ditraktir.

"DIAM!" Bentak Reni sambil memukul sendok kepiringnya hingga terdengar gaduh.

"BAIK BU!" Balas Radit dengan nada yang sama penuh penekanan. Lama-lama hilang rasa hormat juga karna dianggap remeh terus.

Tidak sama waktu diminta belajar dengan Prilla. Dia tidak pernah merasa paling aku. Dia bilang sama-sama belajar selalu. Sering menasehati kalau mencari pekerjaan yang sesuai itu sekarang ini gak gampang. Jadi kalau sekarang sudah bekerja harus sepenuh hati jangan setengah hati.

"Dengar-dengar CEO akan datang, katanya sih mau evaluasi, anak-anak dirut sudah mulai siap turun gunung, dengar-dengar--"

"Dengar-dengar terus, nguping dari mana bu?" Potong Radit membuat Reni melotot. Lama-lama Reni tidak punya marwah dihadapan Radit karna Radit tahu segalanya tentang Reni, terutama kinerjanya yang buruk namun seolah paling bagus karna ia merasa layak naik jabatan.

"Ck kamu ini, sudah saya bilang, Pak Surya Hrd sini sudah dalam genggaman saya, Arini juga gak bakal lolos kalau bukan saya yang kasih lampu hijau ke pak Surya," sombong Reni.

"Gak bisa menggaet Langit, Mataharipun jadi ya bu!"

Pletak!
Radit mengusap kepalanya yang disapa pulpen Reni.
Radit ini karakternya setengah-setengah. Bersama Reni bisa jadi sepertinya. Bersama Prilla pun bisa ikut terbawa. Nasib baik berada diperusahaan yang humanis, toleransinya tinggi. Selama tidak menyebabkan kerugian, dapat menyelesaikan tugas dengan baik, dan selama tidak ada oknum yang rese, seperti resenya Reni pada Prilla, maka ia akan aman. Reni saja masih aman kok. Makanya dia besar kepala. Merasa punya backingan.

'Jadi begitu?'
Prilla tersenyum samar lalu melangkah dengan sengaja melewati mereka berdua.

"Bu, ada yang lewat, berarti dia dengar dong."

"Kenapa kalau dia dengar? Dia bukan orang penting dikantor, masih lebih pentingan saya."

"Tapi dimata pak Langit pentingan dia loh bu dari pada ibu, tuuh lihat!"

Radit menunjuk dengan dagunya. Terlihat diujung langkah Prilla, Langit menunggu kemudian mereka terlihat berbincang sejenak lalu melangkah bersama keluar dari kantin.

"Heran, manager kaya orang susah ngikutin makan dikantin, ikut catering kek, atau ajak makan direstoran diluar sana!" Rutuk Reni mulai mengghibah.

"Ibuu, Radit selalu suka melihat bagaimana cara pak Langit menatap Prilla, padahal Prilla-nya kek cuek gitu," seru Radit yang justru tidak menanggapi ucap Reni karna ia salah fokus ke cara Ali menatap Prilly.

"Halahh, manager red flag, entah apa yang buat dia berubah padahal kemarin menolak mentah-mentah!" Sanggah Reni setelah sepersekian detik juga menyamakan arah pandangnya dengan Radit.

"Hanya Tuhan yang tahu bu, Allah yang mampu membolak-balik hati." Sahut Radit enteng.

"Halahhh, mendadak ustadz!" Reni berdiri sambil menghentakkan kakinya. Sepertinya ia sangat jengkel. Cemburu dan sewot jadi satu.

"Awas kalian!" Reni mengepalkan tangannya geram.

--------

Bersandar dikursi kerjanya yang empuk dengan dagu terangkat dan mata terpejam, Langit merasa kelelahan. Membuka mata dan nanar diujung pandangnya terlihat gadis yang akhir-akhir ini menguras pikirnya. Dia nampak begitu ceria. Mudah beradaptasi. Dari Nunu, ke Radit sampai Arini. Dari dibimbing sampai membimbing, tidak pernah ia mengeluh meski mereka merepotkan karna diajari dari awal.

Tadinya bagai bunga Lily yang berada dibumi, yang merindukan Langit. Sebenarnya mengejar langit hanya butuh sinar yang datangnya dari matahari. Bukankah hanya cahaya yang dibutuhkan untuk membuat bunga bermekaran dimusim semi? Kenapa diri begitu sombong seakan Langit begitu tidak mudah untuk digapai? Kenapa tiba-tiba tidak ikhlas kehilangan ikhtiar yang tadinya begitu berisik mengusik? Lalu begitu balik mengusik akhirnya ia merasakan bagaimana rasanya ikhtiar diabaikan.

"Prilla Lily Yahesa, aku panggil ILY aja ya sekarang!"

"Terserah!"

Lagi-lagi terserah. Untung saja ia peka dan sudah paham bila perempuan mengungkap kata keramat itu artinya abu-abu.

"Kamu gak nanya kenapa?"

Selalu ia menanggapi dengan sabar dan bertanya seolah tak peduli ada kata 'terserah'.

"Gak penting!" Judesnya.

Berbeda dengan saat gadis itu berikhtiar mengejarnya, judesnya menbuat ia semakin menarik.

"ILY itu I Love You!" Urainya hirau dengan judes gadis itu.

"CK!"

Tanpa terlihat melting (melayang tingkat tinggi), salah tingkah apalagi bersemu merah, apakah benar-benar sudah tidak ada lagi rasa? Langit nelangsa. Dia berubah. Padahal perubahannya seperti yang ia harapkan. Tidak berisik namun ternyata tidak dianggap lagi bukan sesuatu yang lebih baik dari pada dipedulikan. Setiap pagi disapa, diingatkan sarapan bahkan diberikan bekal, berisik mengusik bulu tipis yang mulai tumbuh karna ia tidak sempat membersihkan sebab cukuran sudah tumpul belum kebeli yang baru. Dan banyak peduli lainnya yang tidak ia dapat dari yang lain bahkan tidak juga dari ibunya, justru tidak ia pedulikan. Sedemikian cepatnya kah Move On?

Tapi mengapa, waktu itu gara-gara Arini si anak magang baru dia nampak begitu uring-uringan seolah cemburu dengan sikapnya? Langit tak mengerti. Segalanya terasa rumit.

Selalu setiap saat ia ingin melindunginya. Namun ingin mengantar saja sampai saat ini kesempatan itu tak pernah datang. Ada saja hal-hal yang membuatnya bisa mengelak. Seperti saat ia memaksakan diri saat ingin menjemput padahal pekerjaannya masih menumpuk akibat sebelumnya Arini datang lagi datang lagi keruangannya padahal ia sudah berulangkali mengatakan kalau belajar bisa ke Kak Prilla. Ia tak tahu kalau Arini adalah senjata bagi Reni untuk mengompori suasana hati mereka.
Akhirnya Prilly sudah tiba dikantor kembali saat ia baru siap akan menjemput. Mungkin takdir belum berpihak. Bukankah tidak ada daun yang jatuh tanpa atas ijin Allah?

Kini ia merasa yang langit bukan dirinya lagi. Ia sudah menjadi matahari di langit yang memancarkan cahaya menyinari bunga Lily namun bunga itu membentengi diri menolak cahayanya. Sekarang ketika ia membumi, justru sang bunga terbang tinggi melangit bukan untuk mengetuk pintunya namun menghindarinya.

"Dulu aku langit bagimu, Ily, sekarang kamu buat aku sadar, diatas langit masih ada langit, dan aku harus beikhtiar meraihnya!"

Lelah. Pendengarannya hilang, kelopak dengan lentiknya yang tadi berair dan menghangat merapat, gawai ditangannya dengan layar menyalapun terjatuh dipangkuannya. Ia tak sadar berapa lama ia melayang kealam bawah sadar, saat dingin menyesap kening, pipi dan lehernya.

"Abang AKU, kamu sakit?"

---------------
Banjarmasin, 28 Maret 2024
17 Ramadhan 1445H
10.00 wita

Selamat 17 Ramadhan. Dalam Surat Al Baqarah ayat 185, Al Quran diturunkan saat bulan Ramadhan sebagai petunjuk dan penuntun bagi umat Islam. Selamat Nuzulul Quran.

Ikhtiar Mengejar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang