Ikhtiar04

867 154 33
                                    

Hari sabtu dan minggu, biasanya malam yang terasa sangat panjang untuk menunggu hari senin bagi Prilly. Waktunya ke kantor dan jumpa dengan 'abang Aku'.

Sebutan itu memang sengaja tidak pernah ia singgung, karna ia memang tidak ingin Ali mengingatnya karna ia adiknya Daniel teman SMA-nya.

Dulu Ia hanya diam-diam suka. Sejak dipermalukan Daniel didepan Langit waktu itu, ia tidak pernah muncul lagi menyapanya seperti yang sudah-sudah jika kakaknya berkumpul dirumah bersama teman-temannya. Ia hanya mengintip bila ada kesempatan.

"Lo itu anak cewek, masii SD masii ingusan, ngapain genit-genit sama cowok, mending lo fokus mau ujian, katanya mau masuk jalur prestasi SMP favorit kan!"

Dipikir-pikir Daniel betul juga. Dia memang masih kecil, masih SD pula. Sempat ia berpikir paling juga suka-suka begitu doang, sedang masa puber setelah selalu hanya melihat kakaknya, ada mahluk yang nampak lebih handsome. Senyumnya mengalahkan gula pasir, renyah tawanya seperti creaker. Duduk diatas motor Vespa yang antik,  dimana Ali dan kakaknya memang sama-sama menjadi anggota di komunitas Vespa Lover, kalau dia sedang melepas helm dan membenahi rambutnya yang bergelombang, dimata Prilly langsung mode slow motion buat ia tak berkedip.

"Aduhh, kenapa justru gue kebayang saat itu bukannya kebayang dia nolak gue depan umum!!"

Prilly menepuk-nepuk dahinya dengan telapak tangan kemudian menggenggam tangannya lalu  mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.

Padahal dikantor ia sudah mati-matian menghindar, mencoba biasa-biasa saja, tidak lagi hirau akan kehadirannya sesuai saran Nunu, bestienya. Ali-pun nampak merasa aman dengan sikapnya.

"Pasti dia lega sekarang gue udah terkondisikan sesuai maunya, gak ada lagi yang berisik, gak ada lagi yang ngusik!"

Weekend kali ini tak berbeda, terasa lamanya karna ia selalu menanti senin. Ia selalu menunggu-nunggu senin karna saatnya ia bisa menyapa dan menatap lensa berbingkai lentik itu tanpa kedip meskipun tidak pernah dibalas tatap.

"Kita jalan yuk!"

Kepala Nunu muncul dibalik pintu kamar yang ia buka tanpa diketuk. Ia memang tinggal berdua Nunu saat ini. Tepatnya Nunu yang ia ajak numpang setelah ia mengurus perpisahan dengan suaminya. Lagi pula rumahnya meski minimalis tak ada enaknya jika ditinggali sendirian seperti selama ini. Biasanya mami yang mengunjungi tempat tinggal sementaranya sejak kuliah itu. Ia ditemani seorang asisten rumah tangga setengah baya yang dicarikan maminya juga. Tapi mami sejak seminggu yang lalu sedang mengunjungi Daniel sekalian menemani papi yang sedang ada kerjaan, eh kebalik, menemani papi sekalian mengunjungi Daniel.

"Astagfirullah, untung jantung gue sehat!" Prilla menepuk dadanya.

"Hmm, pasti pikirannya gak disini!" Tuduh Nunu menunjuk hidungnya.

"Sotoy!" Prilla mengangkat dagunya menghindarkan ujung hidungnya dari ujung jari Nunu.

"Hati-hati, ayam tetangga innalilahi setelah bengong seharian." Nunu duduk ditepi tempat tidurnya.

"Huss, gue belum kawin jangan dipanggil dulu-lah, beb, masih muda ini juga." Protes Prilly mendengar ucap Nunu.

"Mati itu gak nunggu tua, makanya tobat nasuha lo!"

"Jadi maksud lo, lo mau ngajakin gue ke majelis gitu, biar gue dapet siraman rohani? Dah cukup dari lo siramannya juga, rohani gue bisa kena mental!"

"Mending lo punya temen yang ngajakin kebaikan, percaya deh nanti di akhirat lo bersyukur punya temen macam gue," sahut Nunu serius walaupun dengan nada datar.

"Iya, iyaa, ustadzah dadakan."

"Idihh, ini nih, mindset lo harus berubah, sedikit-sedikit ngerasa diceramahin."

Ikhtiar Mengejar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang