Ikhtiar11

792 160 32
                                    

Pagi-pagi Prilla nampak pias. Ia baru saja membuka laptopnya dan tidak menemukan file laporan presentasi yang ia buat semalam. Iya ingat dan yakin sekali kalau semalam ia simpan tapi kenapa tidak ia temukan sekarang?

"Gimana ini?" Prilly nampak makin panik apalagi saat melirik benda penunjuk waktu. Sudah hampir jam 9, waktunya meeting.

"Laporannya sudah kamu email? Sekarang kamu print baru serahkan ke saya!"

"Maaf bu, laporannya--."

"Kenapa? Belum selesai? Gimana sih kamu, bukankah saya sudah bilang, project ini menentukan?!"

"Sebetulnya sudah selesai bu, semalam saja saya lembur, tapi saya gak tau kenapa bisa tidak ada,"

"Ga mungkin ga ada kalau dikerjakan, alasan saja!"

"Sungguh, bu, saya--"

"Untung saja saya tidak sepenuhnya percaya sama kamu, kamu mengerjakan, kamu pikir saya tidak? Bukankah ini memang harusnya pekerjaan saya?"

Prilly memandang punggung Reni yang menjauh. Ia menghempas nafasnya. Sia-sialah semalam sudah mengerjakan tapi sekarang ternyata hasil pekerjaannya justru hilang. Sudah dibantu Langit pula, harusnya ia yang presentasi, ternyata tetap harus Reni yang melaksanakannya. Kenapa tidak dari semalam saja seperti itu?

Ia meraih dokumen hasil survey yang sudah pernah ia sampaikan kepada Langit kapan lalu, dimana Reni juga yang ingin mengambil alih menjelaskan kepada Langit namun saat itu Langit menolak bahkan membentak Reni kenapa memotong laporan lisannya.  Kenapa Reni seperti tidak bisa belajar saja saat ia ditolak?

"Kamu sudah ditolak, jangan malu-maluin!"

Prilla ingat sekali apa yang dia ucapkan saat acara penobatan beberapa karyawan yang berprestasi dan naik jabatan, bahkan Reni menggandeng Langit menjauh. Sekarang malah mencari cara untuk cari perhatian dan mengejar Langit.

"Nunu juga kemana sih?" Gumam Prilly saat melirik kursi disebelahnya yang kosong. Rasanya semangatnya bagai lowbat. Mungkinkah hari ini ia akan kembali dipermalukan dan kali ini tidak ada yang akan mengamankan dan menenangkannya. Semalam Nunu tidak pulang ke-kediamannya. Nunu hanya mengirimkan pesan kalau ia malam ini tidak pulang dan tidur ditempat lain. Ingin Prilly ikut campur dan bertanya memangnya ia tidur dimana? Namun sebelum ia bertanya Nunu sudah berkata, "Iman bilang dia sedang butuh support dari gue, gue cuma nenangin dia, pengacara minta bayaran yang tinggi, suaminya Ovi pun tidak bersedia mencabut gugatan kecuali Iman memberikan konfensasi dengan nilai yang gila-gilaan!"

"Segila apa, Nu?"

"2M, Pril, sekarang Iman pusing kemana mencari uang, pengacara saja minta 100juta untuk menangani kasusnya!"

Yaa Rabb. Begitu mahal harga dari sebuah perselingkuhan. Bukan hanya tentang materi, tapi tentunya akan berdampak pada tercemarnya nama baik, bakal menggerogoti karir, dan kehilangan keluarga. Belum lagi pengacara yang minta bayaran seratus juta. Mengerikan. Dan sekarang yang mendampingi dan menenangkan justru orang yang sudah disakiti. Korban sekaligus berkorban. Waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja yang Prilly khawatirkan berkorban materi. Sekarang saja Nunu lebih memilih menemani Iman berurusan dari pada kekantor. Sungguh sangat ironis sekali.

"Yaa Allah, jagakan hamba, lindungi hamba, bersamai hamba selalu!" Do'a Prilly dalam langkahnya menuju ruang meeting sambil mendekap dokumen hasil survey.

Langit belum masuk ruangan saat ia sampai disana. Syukurlah. Setidaknya ia tidak akan jadi bulan-bulanan karna terlambat memasuki ruang meeting.

"Lelet amat anak magang, baru datang padahal sedari tadi sudah diinformasikan," sinis ucap Reni, disebelahnya ada Radit salah satu dari tim mereka dalam project ini pula, namun ajaibnya tidak mendapat tugas apapun dan tidak diberikan tanggung jawab apapun kecuali mengekor Reni, seolah-olah asistennya.

Ikhtiar Mengejar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang