Ikhtiar08

836 157 38
                                    


"Nu, laporan hasil survei mana? Kenapa belum ada dimeja saya?"

Sepagi ini Nunu sudah dicari oleh Langit yang nampak uring-uringan.

"Maaf, pak, seharusnya sudah diselesaikan sama Prilla, tapi dia sampai saat ini belum muncul, belum berkabar juga!" Jawab Nunu bukan bermaksud melempar masalah kepada Prilly, namun sebagai pendamping Prilly, ia memang bertanggung jawab membimbingnya.

"Kok bisa belum berkabar? Kamu gak tau kenapa?" Pria itu mengeryit.

"Gak tau pak, kalau bapak butuh sekarang laporannya, saya akan printkan dan serahkan sama bapak segera!" Ujar Nunu berinisiatif.

"Saya mau dia, bukan kamu!"

"Ba--baik, pak!"

Nunu beringsut dari hadapan Langit. Ini baru pukul delapan, keterlambatan memang di jam tersebut, namun harusnya ia tidak panik, meski memang tidak biasanya gadis itu telat walaupun semenit. Ia akan hadir 30 menit sebelum jam keterlambatan. Lagi tadi ia memang tidak bersama dengan Prilly karna mereka menggunakan kendaraan masing-masing. Lagi pula, dikantor tidak ada yang tahu kalau Nunu saat ini numpang tinggal ditempat tinggal Prilla.

Sementara Ali didalam ruangannya terlihat melamun. Baru hari ini Prilla tidak datang lebih dulu daripadanya. Tadi pagi berasa tak biasa sebab tidak ada yang menyapanya mendahului sapaan security.

"Kemana anak itu?" Gumamnya pada diri sendiri.

'Apa peduli lo Lang, bukannya lo jadi aman tanpa celotehnya?' Batin Langit.

"Lang, hari ini--"

Pintu terbuka lalu sapaan mendadak membuatnya terjengit.

"Bisakah anda sopan? Kenapa tidak mengetuk pintu? Ini kantor bukan cafe!"

"Ma--af, pak," Reni tertunduk merasa bersalah karna Langit menggunakan kata anda sementara ia memanggil namanya tanpa embel-embel.

"Kamu calon supervisor yang menangani proyek yang diserahkan dengan anak magang bukan? Nunu hanya pendamping bukan dia yang bertanggung jawab penuh dengan laporan hasil survey, kenapa laporannya belum ada dimeja saya?" Semprot Langit lagi.

Reni tahu anak magang yang dimaksud Ali adalah Prilly, ia mengira karna Ali begitu tidak suka pada Prilly hingga ia terlihat uring-uringan pagi ini gara-gara laporan hasil survey belum beres.

"Saya akan tanyakan kepada yang bersangkutan," ucapnya ikut menahan geram pada akhirnya.

"Bapak jangan khawatir, saya akan berikan hukuman atau kalau perlu saya akan ajukan perubahan tim project agar dia tidak dilibatkan lagi dengan kelalaiannya' saya akan--"

"Jangan macam-macam, kamu harus profesional, tidak suka padanya tidak harus membuatmu menumpahkan piring rezeki oranglain!!!"

Reni melongo mendengar bentakan yang ditujukan padanya. Hilang sudah senyum ramah, humble dan tatap melelehkan hati kalau melihat pria itu begini. Baru kali ini ia melihat Ali marah, bahkan membentak. Seolah harapannya makin musnah saja. Padahal ia sengaja mendekati agar jalan menuju supervisor yang ditinggalkan Ali karna naik jabatan me jadi manager berjalan mulus untuknya.

Tok. Tok. Tok.

"Permisi!"

Langit mengangkat wajah memandang pintu kaca dimana aktivitas diluar terlihat dari tempat ia duduk.  Sesosok yang menjadi bahan pembicaraannya karna keterlambatan laporan terlihat berdiri disana memegang berkas.

"Masuk!" Serunya.

Reni yang mengikuti arah pandang Langit dan melihat Prilla mendorong pintu karna dipersilahkan masuk tersenyum miring. Ia berharap Prilla akan mendapatkan 'sarapan panas' pagi ini sepertinya.

"Selamat pagi, pak, maaf saya--"

Beradu lensa, ada yang membuat Langit seakan tak asing dengan hazelnya. Sungguh, tadinya tak pernah Ali mau menatapnya. Sebentar saja tidak, apalagi lama.

"Kenapa terlambat?"

Harapan Reni sepertinya tak terjadi, suara Langit berubah lembut saat bertanya setelah sesaat terpana menatapnya.

"Saya tidak terlambat pak, 5menit sebelum keterlambatan saya sudah sampai dan absen, tapi bapak sudah memanggil Nunu!"

"Oh!"

"Ini laporannya, pak, kemarin saya survey dijalan Diponegoro, disanakan dekat kampus jadi survey saya ke mahasiswi-mahasiswi yang tentunya akan bersinggungan dengan--"

"Langsung saja jangan bertele-tele, biar pak Langit yang cek laporanmu, bukannya sudah tertera semua, buat apalagi kamu jelask--"

"Siapa yang menyuruh anda memotong laporan lisannya?"

"Saya yang akan jelaskan, sebab saya--"

"Saya tidak minta kamu, saya mau dia, mengerti?"

Reni terdiam seribu bahasa dengan wajah yang pias. Mimpi apa semalam? Pagi-pagi sudah dipermalukan. Salah sendiri juga, kenapa ingin  mengambil bagian karna melihat Langit bukannya melihat berkas yang ditunjukkan Prilla padanya tapi justru tak berkedip-kedip menatapnya saat berbicara.

"Lanjutkan!" Perintah Ali pada Prilly.

Prilly nampak gagu sejenak. Sebenarnya saat Ali menatapnya adalah suatu hal yang tidak pernah ia capai. Selama ini dalam hal apapun jika berkomunikasi Ali tidak pernah memandang langsung ke matanya. Padahal Prilly menatapnya sedemikian rupa dengan mata berbinar-binar. Namun kali ini binar dimatanya tidak ada, ia benar-benar serius karna pekerjaan yang mengharuskannya menghadap Ali langsung meskipun ia tadi sempat meminta Nunu saja yang menyerahkannya.

"Gak bisa, dia mau kamu, nanti tensinya melonjak naik," tolak Nunu.

"Kok tumben?" Prilly mengeryitkan alis. Kalau dulu ia pasti akan kegirangan. Sekarang, ia mencoba mengontrol perasaannya. Justru ia mengira Ali akan menggunakan kesempatan ini untuk memakinya habis-habisan.

"Heran juga, bukannya biasanya dia justru minta aku, tahu-tahu tadi katanya mau kamu," Nunu berkata sambil mengangkat bahu. Iapun tak mengerti. Kalau bukan karna pekerjaan, tak ia biarkan Prilly yang menyerahkannya kalau dia sendiri bisa.

"Udah sanaaa, awas jangan melanggar komitmen!" Lanjut  Nunu seraya mengusirnya agar segera menemui Langit.

"Iyaaa!" Ucap Prilla sambil melangkah tergesa menuju ruangan Langit.

"Jadi gini, pak---" Prilly melanjutkan lagi laporannya yang sebenarnya sudah tertuang didalam dokumen. Ia menjelaskan isi laporan sambil membuka dan menunjuk laporan dengan telapak tangan yang terbuka. Sementara Ali sesekali menegadah menatapnya.

Setiap kali Prilly terjeda maka ia akan menatapnya sambil bergumam,"Hmm ya terus?"

Aduh. Prilly hampir goyah, ingin melonjak kesenangan hari ini bagai mendapat durian runtuh. Akhirnya ia mendapatkan keramahannya, kelembutan dan sikapnya yang bersahabat. Tapi-- ia sudah berjanji akan jaim, hanya fokus pada pekerjaan dan menyelesaikan tugasnya dikantor itu dengan baik. Bukan lagi bagai mengejar-ngejar langit yang tinggi.

"Yaa Allah, maafkan atas jiwa perempuanku yang sedikit saja dibaik-baikin langsung meleleh lagi!"

--------
Banjarmasin, 19 Maret 2024
08 Ramadhan 1445H

Selamat hari ke 8 puasa ya!

Ikhtiar Mengejar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang