"Bapak sendirian saja dirumah?"
Prilly mengedarkan pandangan keruangan yang nampak sepi. Sejak sampai dipekarangan rumah, lampu didepan nampak belum menyala, remang hanya diterangi semburat jingga disenja hari.
"Kenapa? Mau nemenin?"
Meskipun kalimatnya seperti bercanda. Namun tidak ada bercanda ditelinga Prilly. Tidak juga terdengar bagai modus. Prilly tidak ingin sebercanda itu disituasi yang tidak untuk dibercandai.
"Bukan mahrom, pak, tidak boleh, lagian siapa saya mau nemenin bapak?" Sahutnya dengan nada serius tanpa kesan salah tingkah. Ia menolak gemuruh yang ada dalam dadanya saat ini.
"Bukan siapa kamu tapi siapa saya yang harus ditemenin kamu?" Langit balik menanggapi serius. Dan bagi Prilly nadanya menjadi seolah ia tidak percaya diri dihadapannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Seperti ada yang mendasari.
"Kok insecure begitu, bukannya bapak adalah Langit?"
Pikiran Prilly melayang pada filosofi Langit. Yang seharusnya percaya diri karna Langit itu tidak perlu mengatakan dirinya tinggi, karna semua orang tau Langit itu tinggi meski tak pernah mengatakannya.
"Namaku Langit, tapi Langit tidak pernah angkuh, gak pernah gak tau diri minta mamanya ngambilkan bulan, karna punya orangtua gak peduli sama kita itu tidaklah mudah!"
Untung Prilla sedikit banyaknya mengetahui latar belakang Langit sehingga ia dapat memahami maksudnya. Yang ia tahu, Langit punya ibu yang ditinggalkan ayahnya demi perempuan lain. Menjadi single parent tentulah tak mudah bagi seorang perempuan yang ditinggal saat lagi sayang-sayangnya dan masih memiliki tanggungan seorang anak yang beranjak remaja.
"Bukan gak peduli barangkali, pak, tapi memang hidup beliaupun gak mudah," sahut Prilly. Niatnya untuk mengubah pikiran kalau seorang ibu tidak pernah tidak peduli dengan anaknya. Bagaimanapun, anak tetap harus bakti pada ibunya, apa lagi dia seorang laki-laki. Laki-laki itu milik ibunya.
"Tahu dari mana?"
Prilla terdiam. Iya, ia tahu dari mana? Kalau ia bilang tahu dari kakaknya yang secara tidak langsung mengatakan, karna seorang pria tidak detail seperti seorang perempuan, pasti akan ketahuan kalau ia adalah anak kecil adik teman sekelas dan teman mainnya hampir sepuluh tahun yang lalu.
"Kalau masih ada orangtua tetaplah ditengok, pak, jangan hukum ibu yang melahirkanmu dengan membalas yang kamu bilang gak peduli sama kamu, ibumu surga duniamu, pak, tanpa beliau bahkan juga ayahmu, tidak ada bapak didunia ini," lirih ucapnya, namun membuat pria disebelahnya menoleh.
Wajah ibunya terbayang seketika. Sejak kuliah lalu bekerja ia jarang jumpa. Ia berjuang mandiri, tinggal sendiri di rumah kos sampai akhirnya pelan-pelan mengambil sebuah rumah tinggal bergaya minimalis dengan berani menyisihkan sebagian penghasilan menjalani hidupnya yang tidaklah mudah.
Dikejar-kejar membuatnya tidaklah merasa pantas. Ia tidak bisa menjadikannya prioritas. Tanggung jawab pada diri sendiri saja belumlah tuntas. Sampai sukses meraih Manager Operasional, dunia terasa dalam genggaman namun ada yang terasa kurang. Merasa hampa yang tahu dari mana kah datangnya. Beberapa waktu ia pikir karna telah melewatkan Ikhtiar Prilly. Ia mengesampingkan kebahagiaannya demi dunia. Hingga ia merasa harus berikhtiar balik mengejarnya.
Kalimat Prilly membuatnya seakan menemukan dimana lagi letak kehampaannya.
Benar kata Prilly harusnya ia selalu punya waktu untuk menengok ibunya walaupun ia merasa ibunya tidak peduli. Sebelum terakhir kali ia bertemu, ibunya sibuk dengan keluarga baru dan adik yang terlahir dari suami yang baru. Dengan suami baru tidak juga menjadi ibu rumah tangga namun tetap aktif bekerja dikonveksi milik keluarga. Dan terakhir kali ibunya menelpon, ibunya bercerita tengah mengurus perpisahan dengan suami barunya."Tidak semua orang beruntung seperti kamu, orangtua kamu lengkap, mereka dan saudaramu posesif, kasih sayang cukup, harta cukup, segalanya cukup," ungkap Ali membuat Prilly mengeryit. Memang benar semua dikatakannya. Namun ia tetap dapat meyakinkan keluarganya bahwa ia mampu mandiri sejak menginjakkan kaki dikampus pilihannya dan bahkan saat ini mulai menginjakkan kaki didunia perkantoran.
"Bapak, tahu dari mana?" Balas Prilly persis seperti pertanyaan Ali sebelumnya.
Apakah mereka hanya sama-sama sudah mencari tahu latar belakang mereka masing-masing sehingga sepertinya sudah sama tahu bagaimana sosok didepannya?
"Kalau diluar kantor kamu panggil kakak atau abang juga gak apa-apa."
Tidak menjawab tanyanya, tapi pernyataan Ali membuat jantung Prilly bagai berjatuhan. Teringat saat itu mau memanggilnya kakak dimarahi. Dan teringat saat bilang mau memanggilnya ALI, singkatan dari namanya A.ku L.angit Indarta. Tapi apa yang dia katakan waktu itu?
"Kak ALI!"
"ALI?"
"Aku Langit Indrata!"
"Gue Langit, manager operasional dikantor ini, anak magang jangan lancang ubah-ubah nama orang menjadi nama asing yang gak dikenal disini!"
Prilly menghela nafas lalu menghembuskannya.
"Mmhh..."
Bagai blank Prilly tak tahu harus berkata apa, meski nampaknya kekusutan mulai terberai satu persatu.
"Mau manggil kak Ali atau abang AKU?"
Prilly terhenyak lalu menoleh cepat dan lensanya menabrak lensa lain yang sama lentik dan berkabut.
"Kamuuu?"
"Sampai kapan kamu mau menyembunyikan identitasmu?"
Ali membuat Prilly makin terbungkam. Sulit berkata-kata. Rasanya sesak nafas. Artinya Langit sebenarnya sudah tahu identitasnya? Sejak kapan?
"Sampai kapan kamu mau menolak ikhtiarku? Sampai Daniel merestui?" Prilly menjawabnya dengan pertanyaan yang membuat Ali sejenak diam.
Ali menerawang mendengar ucapnya. Sulit sekali mengabaikan bahwa cintanya terhalang restu. Bukan dari orangtua namun dari kakaknya. Daniel memang tidak memutus pertemanan mereka, tidak menghindar dan menjaga jarak asal ia tak mengganggu adiknya. Ia sadar diri bahwa ia justru tidak bisa sembarangan memetik kuntum bunga Lili meskipun sudah ada didepannya.
Menghindari Prilly adalah komitmennya kepada Daniel. Ikhtiar Prilly mengejar dirinya membuatnya tertekan.
"Gue akan membuat diri gue pantas!"
"Gue gak nganggap lo gak pantas, tapi jika buat main-main, mending jangan adik gue!"
"Gue gak akan---"
"Jangan kebanyakan janji, adik gue masih kecil, dia masih nyari jati diri, masih belum pengalaman, lo pengalaman mainin orang, jangan coba-coba mainin dia!"
Sekelumit dialog yang membuatnya merasa tak ada kepercayaan diri. Daniel pribadi yang terbuka. Bisa diterima menjadi temannya dan tidak dijauhi saja buatnya merasa tahu diri. Namun ia juga manusia biasa, menahan diri untuk mengabaikan ikhtiar dan tidak mencintai adiknya itu berat. Sekuatnya ia sebagai lelaki, tetap saja makin ditepis makin sakit. Makin dihindari makin terasa mengganjal seperti batu yang menyesakkan dalam dada. Buatnya lelah dan pada akhirnya jatuh sakit.
Hening. Lampu teras rumah mulai berfungsi karna jingga mulai memudar berganti temaram. Helaan nafas keduanya bagai bersahutan. Kemudian mereka saling melirik.
"Abang 'AKU' masih "I LOVE YOU"-nya ii-kah?"
Prilly menutup mulut dengan telapak tangannya. Kali ini ia tidak bisa menahan semburat merah yang begitu saja lolos yang ia rasakan dari hangat pipinya mendengar ucap Ali.
"Abang AKU, sudah gak sakit lagi-kah?"
----------
Banjarmasin, 30 Maret 2024
19 Ramadhan 1445H
06.18 witaHaii.
Terima Kasih masih bersama dihari ke 19. Masya Allah, tak terasa kita sudah sampai sejauh ini. Mohon maaf tadi kepencet sempat terpublish padahal belum selesai. 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhtiar Mengejar Langit
FanfictieBukan hanya tentang mengejar-ngejar cinta dunia. Cerita ini berisi tentang (QS. Asy-Syura : 20) Kejarlah akhirat maka dunia akan mengikutimu Ramadhan 1445H Ikhtiar Mengejar Langit Ketika Mengejar Akhirat, Duniapun dalam genggaman