Iyang

4 0 0
                                    

Suara Iyang sangat gembira, ia masuk kedalam rumah dengan dua buah Duren di tangannya. Wajahnya sangat sumringah, tapi saat melihat ku dengan Eyang sedang berada di ruang tv wajahnya berubah masam, adan apa di wajahnya ku? Atau sebenarnya ada apa dengannya?

"Wah gede gede sekali pak, bawa kedapur nanti kita makan sama sama, nunggu papah dan mamah nya Kiera pulang agar bisa makan bareng." Ucap Eyang, namun Kiera merasa bahwa Iyang tidak menyukai gagasan tersebut.

Iya, karena saat eyang menyebut kan mamah papah, wajah nya langsung berubah tidak suka. Kiera tidak heran, Iyang memang membenci keluarganya.

"Bapak mau makan sama pak satpam saja, untuk apa bagi bagi ke mereka. Mereka kan banyak uang, suruh beli sendiri saja." Ucap Iyang, jujur saha itu menyakitkan untuk Kiera. Setidak suka itu Iyang pada keluarganya?

"Tidak perlu berbagi pada kami kalau tidak ikhlas, makan saja sama satpam seperti yang Iyang mau!" Tekan Kiera pada setiap kata katanya.

"Tidak ada yang mengajak mu bicara, tidak sopan sekali! Tidak seperti Nakula meskipun masih kecil, Nakula sangat sopan tidak seperti kamu. Ini pasti akibat orang tua mu terlalu nafsu bekerja, anaknya jadi tidak punya sopan santun!" Iyang mendelik tajam pada Kiera dan merubah raut wajahnya menjadi kesal saat berbicara dengan Kiera.

"Tentu saja Nakula harus sopan dan baik karena jika tidak, maka sumber pemberian dari iyang akan terputus pada keluarganya dan istri dari om akan kehilangan kehidupan glamor nya yang sebenernya ia dapat dari uang papah ku juga." Kiera berbicara dengan nada rendah tak ingin Gala yang ada di lantai atas mendengar keributan di bawah, matanya menyorot marah tertahan saat menatap Iyang.

"Dan soal sopan santun, aku selalu berusaha sopan pada iyang, tapi apakah iyang merasakan itu? Apa iyang peduli pada Kiera? Bahkan saat Kiera sakit hingga di infus sementara Nakula demam ringan, Iyang lebih memilih menjenguk Nakula di banding Kiera. Iyang tidak pernah peduli pada Kiera!" Nada suaranya meninggi nafas Kiera ikut berderu menahan amarah, ia mengepalkan tangan tak ingin kelepasan.

"Tentu saja saya peduli Sangat peduli pada Nakula karena dia cucu saya, sementara kamu hany–"

"Bapak!" Eyang segera mengehentikan ucapan Iyang yang dimana Kiera tau apa lanjutan kalimat itu. Genangan air mata siap tumpah dari pelupuk mata Kiera namun gadis itu tetap menahannya, ia benci selalu berakhir nangis setelah berdebat dengan Iyang.

"Kita tinggal di rumah keluarga Kiera, dia juga cucu mu, Kiera berhak dapat kasih sayang kakeknya. Bapak gak perlu sekeras itu pada Kiera." Ucap Eyang penuh kasih sayang dan lembut.

"Rumah Kiera? Harusnya ini milik ayahnya Nakula, jika saja kamu tidak bersikeras mewariskan pada keluarganya Kiera, harusnya anak ku yang memiliki rumah senyaman ini." Balas Iyang ia melihat ke sekeliling dengan sorot mata yang penuh harapan.

"Ayahnya Nakula? Apa Iyang yakin rumah ini akan bertahan lebih dari satu tahun jika berada di tangan ayahnya Nakula? Kiera rasa engga, karena bisa aja rumah ini udah di jual buat memenuhi hasrat hidup glamour ibunya Nakula." Sarkas Kiera   dengan suara rendah ia menatap iyang dengan penuh rasa benci.

"Berhenti bicara omong kosong soal menantuku! Kau tidak berhak bicara seperti itu!!" Dengan suara bernada tinggi Iyang berhasil membuat Kiera sedikit tersentak, untuk pertama kalinya Iyang menyentak Kiera bahkan di hadapan Eyang.

Kiera mundur dua langkah kecil ia sedikit menarik sudut bibirnya semudah itu Iyang nya menaikan nada suara padanya, segampang itu Iyang nya menganggap ia orang asing saat berkomunikasi.

"Bapak cukup! Naik saja ke atas, nanti duren nya ibu siapkan, untuk bapak makan dengan pak satpam. Sekarang naik saja, naik pak!" Eyang menaikan sedikit nadanya, agar Iyang cepat pergi.

Will Never Be Together Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang