Lily menutup keras pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Begitu selesai mengajak Gavriell bercerai, dia langsung kabur begitu saja. Gavriell bahkan tidak sempat memberikan jawaban.
"Shit!" umpatnya pelan. Lily membenturkan kepala pada pintu di belakangnya. "Kacau sudah!"
Benar. Kacau sudah semuanya.
Lily tadi mengatakan apa yang terlintas di pikirannya saja. Dan sekarang dia mulai merasa menyesal. Lily menundukkan kepalanya dalam, entah apa yang akan terjadi setelahnya.
Dia tidak mampu lagi untuk menatap wajah Gavriell. Dia malu, juga kesal.
Sementara Gavriell di kamarnya juga sama. Terdiam di tempatnya, menatap pintu kamarnya yang masih terbuka. Pikirannya kalut, sangat rumit. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini.
Harapannya dia salah dengar. Namun, dipikirkan beberapa kali pun, yang dikatakan Lily memang begitu. Cerai. Lily, istri yang sudah dia nikahi dua tahun meminta perceraian.
Gavriell seratus persen yakin Lily tahu konsekuensi apa yang harus mereka berdua hadapi ketika mengajukan perceraian.
Jalan yang akan mereka lalui untuk menuju perceraian tidak akan semudah saat mau menikah.
Akan banyak pihak yang menentangnya.
Gavriell merebahkan dirinya di ranjang, menutup kedua mata dengan lengannya uang kekar.
Rasanya dia tidak akan bisa tidur dengan tenang sama sekali.
Keesokan harinya, Lily sudah melihat Gavriell rapi dengan setelan jas, duduk dengan tenang di meja makan, sedang menyantap sarapannya. Ia yang berniat turun tangga menjadi ragu, harus kah dia turun dan ikut sarapan seperti biasa? Atau menunggu saja suaminya pergi bekerja?
Lily meremas railing tangga yang dia pegang.
Padahal dia yang mengajukan perceraian, tapi kenapa malah dia juga yang sekarang kebingungan?
"Sejak kapan gue jadi ragu-ragu gini, sih," gerutunya.
Lily lantas menuruni tangga dengan tenang, matanya memperhatikan Gavriell yang tidak bergerak untuk melihatnya. Dan Lily pun enggan untuk duduk di sebelah Gavriell, jadi dia mengambil tempat yang berlawanan dengan sang suami.
"Gue nggak mau sarapan ini." Lily mendorong piring yang menyajikan toast. "Buatin nasi goreng sekarang."
Pelayan yang paling dekat dengan posisi Lily, mengambil piring berisi toast tersebut. "Baik, Bu."
Lily berdecak kesal. "Bikin rusak mood gue aja."
Setelah menyesap teh nya sampai habis, Gavriell bangkit dari duduknya. Lalu berbalik dan menjauh dari meja makan, masih dalam posisi mengabaikan Lily.
"Gila!" Lily melempar garpu ke arah Gavriell, walau tidak mengenai tapi Lily harap itu bisa membuat Gavriell menoleh padanya. "Anjing! Dia mengabaikan gue."
Lily mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Jadi, sekarang dia nggak menganggap gue ada gitu? Gue kayak angin? Atau dia anggap gue setan?"
Lily meraih air putih dan meneguknya sampai habis. "Sialan!"
"Ini nasi gorengnya, Bu."
Pelayan menaruh nasi goreng telur mata sapi di depan Lily. Wanita yang tadinya meminta menu tersebut kini hanya menatap datar. Sudah tidak ada minat untuk memasukkan sesuatu ke mulutnya.
"Buat kalian aja, gue udah males yang mau makan."
***
"CERAI?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayang, Ini Yang Dinamakan Cinta
General Fiction18+ | Marriage Life | Mature Content Hubungan pernikahan yang dipaksa memang tak mungkin berjalan mulus. Pertengkaran akibat rasa tidak suka jelas terjadi setiap harinya. Begitu juga dengan hubungan Gavriell dan Lily. Satunya berniat untuk cerai, sa...