22. Ingin Ditemani

448 55 7
                                    

Hai, jangan lupa komen dan klik bintang-nya yaa 💋
Follow juga bagi yang belum ❤️

***

Bukan hal yang mengejutkan jika melihat Dewi begitu keras kepala terhadap apa yang dia inginkan. Wanita itu masih sama saja, baik empat tahun yang lalu mau pun sekarang. Tak ada bedanya. Sama-sama membuat Gavriell pusing sekaligus muak.

Gavriell tak berharap banyak sebenarnya. Dari cara wanita itu terus mengganggu dirinya selama beberapa tahun meski sudah menikah, cukup dijadikan bukti betapa gilanya seorang Dewi Mahardika.

Dan Gavriell lebih gila lagi. Seharusnya dia sudah bertindak sejak dulu. Mengambil keputusan dengan tegas dan menyampaikan perasaannya tanpa basa-basi.

Melihat mata Dewi yang mulai berkaca-kaca, Gavriell mendengus. Berhadapan dengan seorang aktris itu sulit. Dia tidak tahu apakah Dewi berpura-pura atau tidak.

"Aku serius, Gav. Kita perlu bicara." Dewi meraih tangan Gavriell. Menautkan jari-jarinya dengan Gavriell, menggenggam erat tangan yang sangat dia rindukan selama empat tahun.

Tak ada pilihan lain sepertinya. Gavriell memilih mengalah.

"Oke." Gavriell menarik tangan. Menyandar pada pintu mobil dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Satu menit."

Gavriell menunjuk CCTV parkiran dengan dagu. "Kalau lebih dari satu menit akan sangat berbahaya bagi kita."

"Nggak cukup kalau satu menit, Gav. Banyak yang mau aku katakan sama kamu." Dewi mengusap air matanya yang mulai turun. "Kita pindah ke tempat yang lebih privasi dulu."

"30 detik lagi." Gavriell menatap Dewi tak peduli. Mengabaikan tangisan wanita itu dengan acuh.

"Gav. Please, kita pindah dulu. Atau paling tidak masuk ke mobil kamu."

"Lima belas detik."

Dewi menggigit bibir, matanya menatap Gavriell sendu. Sungguh, Gavriell benar-benar pribadi yang berbeda. Pria itu berubah drastis, Dewi sama sekali tak mengenali Gavriell yang sekarang.

"Oke. Waktunya sudah habis." Gavriell membuka pintu mobil lalu bergegas masuk. Mengabaikan Dewi yang mulai terisak, mencoba menarik perhatian Gavriell dengan suara tangisannya yang sedih.

Dulu Gavriell mungkin tanpa ragu akan memeluk Dewi. Namun sekarang berbeda, bahkan untuk melihat Dewi saja dia enggan.

"Gavriell, please. Ayo kita bicara dulu, Gav." Dewi mengetuk kasar kaca jendela mobil Gavriell. "Keluar dulu, Gav. Kita belum bicara. Gavriell, Gav, tunggu. GAVRIELL JASON."

Gavriell melajukan mobilnya keluar dari area parkir. Benar-benar tak peduli meski Dewi mengejar sambil meneriakkan namanya. Ia hanya melihat sekilas melalui kaca spion sebelum benar-benar keluar dari parkiran.

Dalam titik ini, Gavriell yakin Dewi tak akan bertindak lebih jauh. Bagaimana pun, wanita itu masih perlu mempertahankan citra-nya sebagai seorang public figure.

Bukan pulang ke rumah, Gavriell justru pergi ke apartemen. Tempat yang selalu menjadi pelariannya. Sebuah rumah dimana Gavriell bisa bebas berekspresi. Dia bebas untuk marah, mengamuk, sedih, dan bahkan menangis.

Tidak akan ada yang bertanya.

Tidak perlu lagi berpura-pura.

Hanya dua orang yang tahu tempat ini. Bastian dan Kaisar.

Gavriell langsung masuk ke dalam kamar. Menuju satu lemari khusus dimana dia menyimpan semua kenangannya bersama Dewi. Foto-foto mereka terpajang rapi, baju pemberian Dewi ia gantung, dan juga kotak-kotak hadiah yang baru saja ia pindahkan dari rumahnya.

Sayang, Ini Yang Dinamakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang