Memang berengsek. Sangat menyebalkan. Sampah. Iblis. Anjing. Asshole! Red flag!
Lily terus mengumpat dalam hati dan pikirannya. Menatap garang pada Gavriell yang masih terlihat dingin dengan tatapan tajamnya.
Take off your belt? Hah! Ada-ada saja.
"Terus apa? Mau gue mandiin sekalian?" Lily berteriak galak. Tenggorokannya sakit karena terus menerus mengeluarkan suara dengan keras tapi dia tak peduli.
"Aku nggak suka ngomong dua kali, Lily," geram Gavriell. "Kalau aku bilang nurut ya nurut. Kamu mau terus-terusan di situ?"
Lily mengusap wajahnya yang basah dan dingin. Ia mematikan shower, kemudian berjalan maju menghampiri Gavriell. Lily sadar betul kalau dia tidak bisa bertindak lebih jauh. Sekali lagi dia membantah, Gavriell pasti akan sangat murka.
Karena itu tak ada pilihan lain bagi Lily selain menurut. Dia tidak ingin diceraikan.
Lily menekuk kedua kaki, berdiri dengan lutut menyentuh lantai kamar mandi yang keras dan licin. Perlahan mulai melepas sabuk suaminya, lalu menarik turun zipper celana Gavriell.
Perasaan asing yang menyenangkan mulai memenuhi dirinya. Rasa mendebarkan yang timbul membuat Lily bersemangat. Ia menjadi excited pada sesuatu yang mungkin akan terjadi.
Gavriell memejamkan mata saat miliknya masuk ke dalam mulut Lily, merasakan kehangatan menyelimuti bagian bawahnya. Gavriell menengadah, permainan lidah istrinya lah yang terbaik. Gavriell puas dan sangat menyukainya.
"Dua menit." Gavriell berkata pelan. "Waktumu dua menit untuk membuatku puas."
Lily mendongak, menemukan rahang tegas Gavriell yang menawan. Lidahnya berhenti menjilat dengan kedua tangan masih memegang milik Gavriell.
"Kalau sampai aku tidak keluar dalam dua menit, kau tidak di ijinkan keluar dari kamar selama seminggu."
Reflek Lily meremas kuat milik Gavriell yang dia genggam. Tak peduli meski si pria memekik kaget.
"Hei!" Protes Gavriell. "Pegang yang bener."
Lily memutar bola mata malas. Ingin protes namun jelas dia tidak akan didengarkan. Jadi, mending dia turuti saja Gavriell dulu. Baru nanti dia bisa mengeluarkan segala pertanyaan dan protes yang mengganjal di kepalanya.
Gavriell mendesis saat Lily menghisap kuat kejantanannya. Lidah istrinya kembali bermain bersamaan dengan kedua tangan yang memijat sekeliling milik Gavriell. Suara decapan dari lidah Lily semakin membuat tubuh Gavriell memanas.
Pria itu sudah tak sabar.
Gavriell menyentuh puncak kepala Lily, menahan agar tidak ada pergerakan. Barulah kemudian dia menggerakkan pinggul dengan tidak sabar. Mengejar sesuatu yang akan segera sampai. Gavriell bahkan menghiraukan Lily yang memukul kakinya, protes karena terus tersedak.
"Ah shit." Gavriell memejamkan mata, mengeluarkan segala yang dia miliki di mulut sang istri.
Perasaan Gavriell sejak kemarin lusa tidak bagus. Marah dan kesal bercampur menjadi satu, memorakporandakan perasaannya yang ia usahakan tetap tenang. Dan ketika ia hampir berhasil mengembalikan mood seperti biasanya, Lily, istri yang selalu menguji kesabarannya itu bertingkah.
Kalau dulu Gavriell hanya akan tetap diam dan membiarkan, tapi dia tidak akan bersikap sama lagi mulai sekarang.
"Berdiri." Gavriell memerintah. "Nungging sekarang."
Lily menurut. Dia berdiri meski kakinya mulai gemetar, berbalik memunggungi Gavriell. Lily menungging dengan mata terpejam, merasa malu namun bersemangat pada waktu yang sama. Dalam hati menantikan apa yang akan dilakukan suaminya.
"Buka lebar-lebar milikmu, Lily." Begitu Lily sudah melebarkan kaki dan membuka miliknya dengan kedua tangan, Gavriell meraih pinggang istrinya. Mulai masuk dengan perlahan. "Kamu licin banget padahal aku belum nyentuh."
Lily memejamkan mata dan melenguh. Merasakan dirinya penuh di bawah sana.
"Kamu menghisap dengan baik." Gavriell diam, menikmati bagaimana miliknya dilahap habis oleh Lily. "Enak banget, Ly. Milikku kayak di remas dengan kuat."
Iya. Enak. Namun Lily merasakan sebaliknya. Dia frustasi. Lily ingin Gavriell bergerak bukan diam begini.
"Gav."
"Hm?"
"Please," lirih Lily. Ia sungguh tak tahan, tapi terlalu malu untuk bergerak.
Gavriell merunduk, mendekatkan wajahnya pada telinga sang istri. "Please what, hm?"
"Kamu mau apa? Bilang, Lily." Gavriell menjilat juga memberikan gigitan pada telinga istrinya. Terus menggoda titik sensitif Lily. "Kalau kamu nggak bilang aku nggak akan tahu."
"You already know," bantah Lily.
"I don't know." Gavriell berbisik lembut. "Kayak aku yang nggak tahu kenapa kamu lancang buka barang-barang aku."
Kalau saja tidak dalam keadaan begini, Lily tentu akan terus membalas dan berdebat. "Ah," lenguhnya saat Gavriell menarik diri lalu menghantam kuat, mencapai titik intinya yang sensitif.
"Just... just move, please." Lily meraih tangan Gavriell, meremas kuat, menyalurkan hasratnya yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Like this?" Gavriell bergerak pelan. Tangannya meraih buah dada Lily, memilin puncaknya yang berwarna pink. "Kamu juga sensitif di sini, 'kan?"
Lily menggeleng, seluruh tubuhnya sangat sensitif sekarang. Dia tak ada bedanya dengan wanita hyper yang menginginkan lebih dan mengharapkan sang suami menjadi brutal. Seperti saat mereka pertama kali melakukannya.
But, once again. Lily malu. Gengsi adalah nama belakang Lily yang tak pernah tertinggal.
"Oh, kamu nggak suka?" Gavriell berhenti bergerak, juga menarik tangannya. "Kalau gitu aku akan diam. Kamu lakukan apa yang kamu suka."
"GAV!" Spontan Lily berteriak. Memiringkan kepalanya, berusaha menatap Gavriell yang tersenyum miring.
"Yes, White Lily?"
"Harder," lirih Lily.
"What? I can't hear you." Gavriell merasakan kesenangan baru dalam hal menggoda Lily. "Bicara yang keras dan jelas."
Lily memejamkan mata. "Just move or leave me alone, Gav."
"Bicara yang jelas, Lily." Gavriell masih tak ingin kalah.
"Fuck You!" Lily mengumpat kesal.
Gavriell terkekeh. Puas rasanya melihat Lily sudah kehilangan kendali. Gavriell mencengkram pinggang istrinya dan bergerak dengan cepat. Terus menghentak sampai kaki Lily bergeser maju.
"Tetap di posisimu." Gavriell menggigit bibir bawahnya. Kembali ia mainkan kedua buah dada istrinya yang bulat dan kenyal. Menyentuh puncak dadanya dengan agresif.
Lily yang terkejut segera menguasai diri. Berusaha keras tetap bertahan di posisinya dengan kaki yang gemetar. Lututnya lemas saat Gavriell dengan semangat terus bergerak dengan brutal. Seolah sedang memburu sesuatu dengan terburu-buru.
Napas keduanya berburu, dibarengi dengan desahan Lily yang semakin lama semakin keras. Mereka berdua seakan tak peduli kalau ada seseorang yang mendengar.
Gavriell dan Lily tak lagi memikirkan kenapa mereka berdebat dan bagaimana mereka bisa berakhir seperti ini. Keduanya hanya fokus mencapai kenikmatan yang mereka cari.
Suara geraman Gavriell dan lenguhan panjang Lily menjadi pertanda pelepasan mereka yang datang bersamaan. Lily jatuh terduduk saat Gavriell mencabut miliknya dengan napas memburu.
Setelah beberapa detik kesadaran Gavriell seperti kembali. Dia menatap istrinya dingin dan mengintimidasi. Tak memiliki keinginan sama sekali untuk membantu istrinya berdiri.
"Cukup sampai di sini, Lily." Gavriell menarik celananya ke atas, kembali membungkus kejantanannya yang masih mengeras.
Gavriell rasa kalau dia meneruskan, Lily tak akan jera. Istrinya itu akan menganggap semuanya baik-baik saja hanya karena dia memberinya kesenangan.
"Dan jangan lagi lancang menyentuh barang-barang aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayang, Ini Yang Dinamakan Cinta
Fiction générale18+ | Marriage Life | Mature Content Hubungan pernikahan yang dipaksa memang tak mungkin berjalan mulus. Pertengkaran akibat rasa tidak suka jelas terjadi setiap harinya. Begitu juga dengan hubungan Gavriell dan Lily. Satunya berniat untuk cerai, sa...