Hi, coba komen kenapa kalian baca cerita ini? ✨
***
Dengan mengenakan crop top hitam dan celana pendek, Lily berlari dengan kecepatan sedang di atas treadmill. Rambutnya ia kuncir tinggi-tinggi.
Sebagai influencer yang dikenali banyak orang, wajib hukumnya bagi Lily untuk selalu menjaga penampilan. Meski malas pun Lily selalu menyempatkan olahraga untuk menjaga bentuk tubuhnya. Padatnya jadwal juga menjadi salah satu alasan kenapa dia perlu meningkatkan stamina.
Ruang olahraga di rumah Lily berhadapan langsung dengan kebun samping yang indah. Itu membuatnya sedikit lebih bersemangat karena bisa sekalian cuci mata.
Namun kali ini Lily tak begitu menikmati. Rasa pusing yang dia rasakan sejak bangun tidur masih belum mereda. Ditambah cairan bening yang memenuhi hidungnya. Lily merasa tak nyaman.
Begitu merasa tak sanggup lagi melanjutkan larinya, Lily berhenti. Berjalan dengan tertatih menuju sofa panjang, ia memegangi dahinya yang hangat.
"Bu Lily. Ibu baik-baik saja?"
Seorang pelayan yang baru saja masuk membawa air mineral langsung berlari begitu melihat Lily hanpir jatuh. Pelayan muda tadi memegangi tubuh majikannya, menuntun Lily untuk berbaring di sofa.
"Badan Ibu anget. Ini minum dulu, Bu."
Lily menggeleng. Malas untuk membuka mulutnya.
"Sebentar, Bu. Saya panggilkan yang lain untuk bantu ke kamar, ya?"
Belum sempat Lily menolak, pelayan tadi sudah melenggang pergi. Ini hari sabtu pagi, jadi Gavriell pasti ada di rumah. Dan Lily enggan untuk menunjukkan dirinya yang lemah seperti ini.
Karena itu Lily memaksakan diri untuk berdiri. Namun baru beberapa detik dia kembali duduk di sofa. Memegangi kepalanya yang pening luar biasa. Lily juga terus menarik cairan ingus yang keluar dari hidungnya.
"Sakit ya?"
Lily menoleh ketika mendengar suara Gavriell. Pria itu datang dengan gayanya yang datar, tidak terlihat panik sama sekali meski wajah Lily sudah pucat begini.
Seharusnya sih Lily sudah tahu. Mana mungkin Gavriell akan peduli.
"Katanya mau panggil yang lain. Kenapa yang datang dia?" Lily bertanya pada pelayan di belakang Gavriell.
"Maaf, Bu. Bapak yang mau datang sendiri," jawabnya menerangkan. Saat dia melaporkan kondisi Lily pada Erni, Gavriell yang baru saja turun dari tangga tanpa sengaja mendengar.
Lily menatap suaminya tak percaya, tapi tak mau bertanya atau berdebat. Dia menarik ingusnya lagi, lalu berniat merebahkan diri. Masa bodoh meski ada Gavriell, sudah terlanjur terlihat lemah juga.
Gavriell mengulurkan tangan menyentuh kening istrinya yang hangat. "Kamu ngapain olahraga kalau tahu nggak enak badan?"
"Jangan bacot."
Decakan keras keluar dari mulut Gavriell. Dalam keadaan seperti ini pun, istrinya masih saja susah di atur. Walau begitu, Gavriell tetap menyelipkan tangan di belakang leher dan lutut sang istri. Membawa tubuh Lily pada gendongannya.
Lily pun diam. Terlalu pusing untuk mengeluarkan kalimat protes. Dia justru menyenderkan kepalanya pada dada bidang suami. Memejamkan matanya yang panas.
"Panggil dokter sekarang," pinta Gavriell.
***
Lily membuka matanya yang masih terasa berat perlahan. Kepalanya masih pusing luar biasa, hidungnya pun tersumbat, membuat Lily kesusahan untuk bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayang, Ini Yang Dinamakan Cinta
Художественная проза18+ | Marriage Life | Mature Content Hubungan pernikahan yang dipaksa memang tak mungkin berjalan mulus. Pertengkaran akibat rasa tidak suka jelas terjadi setiap harinya. Begitu juga dengan hubungan Gavriell dan Lily. Satunya berniat untuk cerai, sa...