17. Punishment

775 57 11
                                    

Langkah kaki Gavriell berhenti di depan pintu kamarnya yang terbuka. Penampilannya masih rapi, tidak seberantakan kemarin. Hanya saja dia masih terlihat sangat dingin. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tatapan matanya setajam silet, kedua tangan masuk ke dalam saku celana.

Ia masuk ke dalam kamar dengan perasaan heran. Benaknya penuh pertanyaan dan akhirnya terjawab begitu dia melihat Lily membuka kotak-kotak hadiah yang selalu rutin dia terima.

Gavriell tidak langsung menegur. Dia bersandar pada dinding, memperhatikan Lily yang memasang berbagai ekspresi setiap membuka kotak yang berbeda.

"Pasti dari wanita." Lily mengambil kesimpulan. "Apa Gavriell gagal move on, ya?"

Gavriell memutar bola matanya malas. Ia berjalan mendekat, menatap istrinya yang duduk di lantai dingin. "Kamu ngapain, Ly?"

Mendengar suara Gavriell, Lily langsung  menoleh dengan cepat. Segera berdiri dengan wajah gugup. "Oh, hai. Katanya nggak pulang hari ini?"

Gavriell mengangkat satu alisnya tinggi. "Karena itu kamu jadi lancang masuk ke kamarku?"

Lily berdecak. Kamarku? Seingatnya dia dan Gavriell sepakat satu kamar. "Kita kan sudah sepakat satu kamar. Masa kamu sudah lupa?"

"Tapi kita belum sepakat menggunakan kamar ini sebagai kamar kita." Gavriell merunduk, menyamakan wajahnya agar setara dengan Lily. "Dan apa ini sifatmu? Membuka barang orang lain tanpa ijin?"

Tidak langsung ada jawaban dari Lily. Wanita itu menatap suaminya tajam, terlihat sangat kesal. Namun Gavriell sedang tidak ingin mengalah. 

"Asshole!" umpat Lily jengkel. Ia kembali jongkok, menutup satu persatu kotak-kotak tadi lalu menaruhnya dengan rapi di tempat semula. "Berengsek!"

Lagi-lagi mengumpat sebelum berlalu dari hadapan Gavriell.

Lily kesal. Sangat kesal. Kalau bisa dia akan mendorong Gavriell dari jendela. Sayangnya dia mana mungkin berani, juga tidak akan kuat. Yang ada justru dirinya yang akan dibanting Gavriell.

Wanita mana yang tak kesal kalau suaminya menyimpan barang dari mantan? Lily begitu yakin kalau Gavriell belum move on. Dia benci bagaimana Gavriell bisa sangat kacau dan mengabaikan dirinya hanya karena orang yang tidak Lily ketahui.

Lily frustasi. Dia ingin marah tapi Gavriell tidak akan peduli.

"Ly?" Gavriell menahan pintu kamar Lily yang akan tertutup. Pria itu berjalan maju, membuat istrinya berjalan mundur dengan sendirinya.

"Apa, hah? Apa? Mau marah?" Lily berteriak, rasa kesalnya memuncak. Melihat wajah Gavriell justru membuat Lily kehilangan kendali. "Marah aja sini, ayo bertengkar sekalian."

Lily mendelik, memasang wajah paling seriusnya. Tak ingin dianggap ketakutan, juga tak mau terintimidasi.

"Kamu bener-bener ya," kata Gavriell dengan suara rendah. Merasa geram. Padahal Lily yang salah karena telah lancang menyentuh barangnya, namun malah wanita itu yang marah.

"Kenapa, hah? Sialan lo, dasar berengsek." Lily meninju dada Gavriell. "Ngeselin tau nggak lo? Sampah! Sana keluar, males gue liat muka busuk lo itu."

"Lagi." Gavriell berjalan maju sampai Lily tak bisa lagi bergerak. Wanita itu terkunci di antara Gavriell dan ranjang. "Ayo lagi kalau berani."

Lily meremas kedua tangan, tak akan dia biarkan dirinya kalah. "Gila lo? Sana keluar!"

Gavriell sama sekali tak bergerak saat Lily mendorong tubuhnya. Dia tetap diam di tempat, seakan dorongan Lily hanya angin yang menerpa. "Kenapa kamu yang marah?"

Sayang, Ini Yang Dinamakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang