15. Kotak Putih

484 55 23
                                    

"Yah, Bu. Baru aja saya rebahan di kos, masa harus ke rumah Ibu lagi?"

Lily memutar bola mata malas. Bersandar pada dinding dengan mata fokus menatap pintu kamar Gavriell. Ia kepo dan sekretaris Gavriell juga ternyata bisa sangat menyebalkan.

"Whatever, Jev. Saya mau kamu ke sini ya kamu nurut." Lily mendengus. "Makan malam di sini aja kamu."

Jevan tidak membalas, diam saja selama beberapa saat sampai Lily dibuat kesal. Berani-beraninya seorang bawahan membuat Lily semakin merasa jengkel.

"Jev, kamu dengerin saya nggak sih?"

"Bentar, Bu. Ini konteks-nya saya ngapain ya ke sana? Perasaan waktu ngantar Bapak tadi saya nggak di suruh makan malam di sana." Jevan kebingungan karena Lily sendiri juga tidak jelas. Main suruh saja padahal jam kerja sudah selesai.

Lily berdecak. "Kalau kamu ke sini dalam satu jam, saya transfer lima puluh juta."

"Saya berangkat sekarang, Bu."

Lily berdecih lalu mematikan sambungan telepon. Lima puluh juta bukan lah apa-apa baginya, tak masalah kalau harus dikeluarkan untuk hal-hal begini. Yang penting dia bisa tahu penyebab suaminya jadi kacau begitu.

Kurang dari satu jam Jevan sudah sampai di kediaman atasannya. Ia terkejut bukan main saat Lily menyambut dengan wajah datar nan ketus. Dia memiringikan kepala, melihat keberadaan Gavriell ada atau tidak.

"Jadi ini beneran Ibu sendiri yang manggil saya?" Jevan menunjuk dirinya sendiri dan Lily mengangguk. Jevan mengangkat alis, keheranan. Ini pertama kalinya Lily memanggil dirinya secara pribadi.

Dalam perjalanan ke rumah Lily, Jevan sudah bisa menebak sih. Tidak mungkin Gavriell memanggil dirinya melalui Lily. Dan melihat kondisi atasannya itu seharian ini, rasanya tidak mungkin juga Gavriell memanggil.

Biasanya saat kondisi hatinya memburuk, Gavriell akan mengurung diri sampai merasa membaik.

Jevan mengikuti Lily yang berjalan ke ruang makan. Matanya berbinar menyaksikan banyak sekali menu enak dan mahal yang tersaji di atas meja. Sebagai anak rantau yang tinggal di kos, tentu makanan gratis dan enak tidak akan pernah dia tolak.

Lily duduk di kursi sebelah kanan dan Jevan duduk di depan. Berhadapan agar bicara juga menjadi nyaman.

"Makan yang banyak, Jev." Lily mendorong ikan bakar di depannya ke arah Jevan. "Kalau mau menu yang lain kamu bisa bilang. Tidak perlu sungkan."

"Engga ada racun kan, Bu?"

Lily berdesis. "Tinggal makan aja repot."

Masalahnya mereka makan berdua tanpa Gavriell. Lily yang biasanya jutek minta ampun, sekarang berbaik hati menawarkan Jevan makanan. Tentu membuat Jevan sedikit ragu. Kalau tidak di racun pasti ada yang aneh dengan kepala Lily.

"Bapak kenapa engga makan?" Walau tidak yakin, Jevan akhirnya mulai mengambil nasi dan lauk yang dia mau.

"Itu yang mau saya tanyakan. Bapak kenapa ya nggak mau makan?" Lily menopang wajah dengan satu tangan. Ia memilih makan buah mangga dengan tidak minat.

Jevan yang sedang mengunyah langsung terdiam. Dia menyadari sesuatu. Apakah tujuan dia dipanggil untuk mendengar keluhan Lily tentang Gavriell?

"Bapak kayaknya nggak baik-baik saja ya, Jev. Hari ini terjadi sesuatu di kantor?"

Jevan sulit menelan makanan. Setahu dia hubungan Gavriell dengan Lily tidak baik. Kenapa Lily jadi kepo dan seakan  perhatian dengan suasana hati Gavriell?

"Masalah di kantor sih engga ada ya, Bu. Cuma Bapak emang lebih serem dari biasanya."

Lily mengangguk. Menyadari kalau Jevan kaku dan tidak nyaman menjawab pertanyaannya. Ia langsung meraih ponsel dan berkata, "Kirim nomor rekening kamu, Jev."

Sayang, Ini Yang Dinamakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang