8. Apa-apaan?

441 58 3
                                    

Kerutan muncul di dahi Lily, ia tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Ini di luar prediksi. Padahal sudah seharian penuh Lily mencoba meyakinkan diri kalau Gavriell tidak akan mengiyakan perceraian yang dia minta, tapi pria yang tengah menatap dirinya dengan dingin itu tampak serius.

Menandakan kalau dirinya sedang tidak bercanda.

"Cerai?" ulang Lily. Ia menjilat bibir bawahnya gugup. "Lo bilang cerai?"

Gavriell yakin dia sudah mengatakannya dengan jelas dan dia juga percaya Lily sudah mendengarnya dengan baik. Jadi, dia memilih untuk tidak membalas. Membiarkan istrinya memproses kata-kata yang dia lontarkan.

"Lo tau kan ini nggak akan mudah?" Lily bertanya. "Keluarga kita nggak akan setuju."

"Tapi kamu mau." Gavriell membalas singkat dan tepat sasaran.

"Iya, tapi...." Lily kehabisan kata. Rambut hitamnya ia kibaskan ke belakang dan pandangannya masih menatap Gavriell nanar. "Lo pertimbangin lagi deh."

Lily berdiri, memilih berjalan cepat ke dalam kamar. "Kita bicarakan lagi besok," teriaknya saat menaiki tangga dengan tergesa-gesa.

Untuk saat ini, Lily tidak peduli jika dihina pengecut atau pecundang karena lari. Dia masih sangat kaget, tak menduga masa saat suaminya ingin cerai akhirnya datang. Melihat bagaimana Gavriell bersikap selama ini, seharusnya dia lah orang yang akan dengan tegas menolak ajakan cerai Lily.

Bahkan mungkin Gavriell akan mengabaikannya. Seperti tidak terjadi apapun.

Lily mengacak rambutnya frustasi. Meninju bantal di atas ranjang dengan kekuatan penuh. Lalu menelusupkan wajah di sela-sela selimut yang sudah berantakan.

Pikirannya kalut. Seperti yang Gavriell bilang. Perceraian ini adalah kemauannya. Dia yang lebih dulu mengajukan permintaan cerai dan Gavriell mengiyakan.

Jadi, bagaimana dia harusnya bersikap? Tentu harusnya senang karena apa yang diinginkan tercapai. Bukanya merasa frustasi begini.

"Shit!" Lily mengumpat lirih.

Kenapa sih dengan dirinya? Sebenarnya kenapa dia enggan bercerai dengan Gavriell? Karena kakeknya kah? Karena keluarganya?

Atau karena dia sendiri yang sudah merasa nyaman dengan Gavriell?

Lily terlonjak kaget saat pintu kamarnya dibuka. Ia dengan cepat menoleh dan sudah menemukan sosok Gavriell berdiri di ambang pintu. Masih dengan wajah datar dan tatapan yang menusuk.

"Kenapa?" tanya Lily gugup.

Tidak mungkin kan Gavriell datang untuk melanjutkan pembicaraan tadi.

"Gue sudah bilang kalau kita bicarakan besok."

"Why?" Gavriell berjalan maju, menuju ranjang di mana Lily berada di atasnya. "Apa bedanya bicara sekarang atau besok?"

Gavriell menyentuh puncak kepala Lily. "Kamu adalah orang paling plin plan yang pernah aku temui," katanya dengan nada yang lebih kalem dari sebelumnya.

Lily ingin membantah tapi dia sadar diri. Karenanya, dia menutup mulut rapat-rapat. Kalau mengelak nanti dia akan mendapat serangan yang lebih sengit lagi dari Gavriell.

"Aku udah mikir seharian masalah dan akibat yang akan terjadi kalau kita cerai." Gavriell menarik tangannya dari kepala Lily. "Dan aku pikir semuanya bakalan bisa aku hadapi."

Lily melempar bantal pada Gavriell tanpa dia sadari. "Emang iya? Berat loh."

"Aku selalu membuat keputusan setelah banyak mempertimbangkan, nggak kayak kamu."

Sayang, Ini Yang Dinamakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang