54. Rahasia Terpendam

11.2K 913 37
                                    

"Mau ikut nongkrong enggak?" tanya Tami. Dia menghampiriku ketika sudah saatnya pulang.

Sudah lama aku tidak nongkrong bersama Tami. Meski sudah kembali ke kantor, kesibukan yang tak ada habisnya membuatku jarang menghabiskan waktu dengan teman-temanku. Namun, aku tidak menyesalinya. Aku tidak begitu suka nongkrong sampai malam, menurutku itu hanya membuang-buang uang dan waktu.

"Sorry, gue sudah ada janji." Aku tidak sepenuhnya berbohong. Nadiem mengajakku makan malam.

Tami menatapku dengan wajah curiga. "Gue kepo, siapa sih pacar lo?"

"Hah? Pacar?"

Tami mendecakkan lidah. "Lo udah punya pacar, kan? Jujur, deh, sama gue."

Percuma berbohong di depan Tami, karena wajahku yang memerah membuat Tami bisa mengendus kebenaran. Dia tertawa saat melihatku seperti kepiting rebus.

"Muka lo glowing banget. Makanya gue kepo, siapa dia? Cowok yang bisa bikin lo tersipu-sipu begini, pasti spesial banget ya?" goda Tami. Dia menyikut rusukku sambil tertawa. "Gue harus dekat-dekat lo, siapa tahu kecipratan bisa punya pacar. Bosan nih ngejomlo mulu."

Aku hanya bisa tertawa mendengar ucapannya. Andai Tami tahu kalau aku tidak punya pacar, melainkan seorang suami. Dan, dia Nadiem. Tami pasti bakalan heboh kalau tahu yang membuatku tersipu seperti ini adalah Nadiem.

"Siapa yang punya pacar?"

Aku berbalik dan mendapati Arlan berdiri di belakangku. Meski bekerja satu kantor, belakangan aku jarang bertemu dengannya. Aku tidak menjaga jarak, tapi sepertinya Arlan melakukannya. Mungkin dia enggan bertemu denganku setelah aku menolaknya. Namun, itu bukan masalahku. Dulu aku memang menyukainya, tapi aku tidak pernah menyesal sudah menolaknya. Karena ternyata, hanya ada satu nama yang mengisi hatiku. Sejak dulu, cintaku hanya untuk Nadiem.

"Dinda. Lo enggak lihat dia semringah banget," jawab Tami.

Berbeda dengan Tami, Arlan menatapku tajam. Mengapa dia merasa terganggu ketika tahu aku punya pacar?

"Memangnya ada yang mau pacaran sama Dinda?" cetusnya.

Tawa Tami berhenti seketika. Membuat tawa Arlan terdengar memekakkan. Dia tidak sendiri. Di belakangnya ada dua orang perempuan yang juga ikut tertawa.

"Maksud lo apa?" Aku sudah membuka mulut, tapi Tami mendahuluiku.

"Memangnya ada yang mau pacaran sama cewek gendut?" Arlan terkekeh.

Di depanku, Tami berkacak pinggang. Selama berteman dengannya, aku menjaga sikap agar tidak membuat Tami marah. Dia bisa mengerikan jika sedang marah. Boleh saja dia punya tubuh kecil tapi kalau sudah marah, tidak ada yang berani mendekatinya.

Baru kali ini aku memiliki teman yang siap membelaku.

"Seganteng apa sih lo, sombong banget."

Arlan terang-terangan meledekku. "Gue juga kepo, siapa cowok yang khilaf mau pacaran sama lo. Gue sih ogah, makanya gue tolak. Jangan-jangan, akal-akalan lo doang kali biar dibilang laku."

Aku mendengkus. "Siapa yang ditolak? Bukannya kebalik?"

Arlan menatapku dengan tatapan meremehkan. Dia berbisik ke kedua perempuan itu, tapi bisikannya terdengar jelas olehku.

"Menurut lo, siapa yang menolak? Gue atau dia?"

Aku memutar bola mata. Kenapa aku bisa menyukainya dulu? Itu misteri besar yang tidak akan terpecahkan.

"Whatever makes you sleep at night," semburku. "Tam, duluan, ya."

Aku melangkah menuju lift yang membawaku ke lantai 29. Aku tidak akan membiarkan Arlan atau siapa pun merusak suasana hatiku.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang