Nadiem
You fucked up.
Aku menatap pantulan bayanganku di cermin. Rasanya ingin menonjok wajah yang menatapku dari pantulan tersebut. Dasar bodoh, apa yang baru saja kulakukan?
Aku dengan sadar mempermainkan Dinda. Aku baru saja menodai kemurnian perempuan itu. Semuanya karena aku tidak bisa menahan nafsu binatang yang menguasai diriku.
Dinda benar-benar mengacaukan pikiranku. Seharusnya aku mengikuti peringatan yang diberikan akal sehat dan menciptakan jarak darinya. Namun aku malah mengikuti kata hati, dan selalu mencari alasan untuk berdekatan dengannya.
Di hadapan Dinda, aku baru saja menggali kuburku sendiri.
Mencium Dinda selalu berada dalam imajinasiku. Seharusnya cukup sampai di sana. Namun aku begitu lemah, dan menyerah dengan mudah atas permintaannya. Aku lebih dewasa, seharusnya aku lebih bijaksana. Aku tahu bahwa permintaan Dinda untuk menciumnya adalah sesuatu yang tidak pantas. Seharusnya aku menolak. Jika bisa, pergi sejauh mungkin.
But I fucked up.
Tidak hanya mencium Dinda, tapi aku melakukan lebih dari itu. Aku menyentuhnya, merasakan tubuhnya. Sekarang aku harus menanggung akibatnya.
She is my walking wet-dream.
And I am a walking boner.
Rasanya tidak nyaman, ketika penisku bereaksi atas Dinda. Untung saja masih ada sisa akal sehat yang membuatku menahan diri untuk tidak menelanjangi Dinda dan merasakan kehangatan tubuhnya. Meski nafsu menguasai, ada satu bagian di hatiku yang melarang agar aku tidak menodai Dinda.
Perasaanku kepadanya makin sulit dikendalikan. Setiap menatapnya, aku selalu tergoda untuk merasakan tubuhnya. Aku benci ketika Dinda tidak percaya diri atas tubuhnya. Dia memang tidak memiliki tubuh kurus seperti perempuan yang menurutnya cantik, tapi di mataku, dia begitu cantik. Sangat seksi, dengan lekuk tubuh yang menggiurkan. Dia membuatku selalu ereksi setiap kali melihatnya.
Tidak seharusnya aku membiarkan perasaan itu tumbuh subur dan berkembang liar hingga tidak bisa dikendalikan. Ada banyak alasan untuk segera membunuh perasaan itu.
Dinda masih sangat muda. Jarak usiaku dengannya cukup jauh, delapan tahun. Perjalanannya masih panjang, dan Dinda berhak atas pria yang bisa membahagiakannya sepenuhnya. Bukan aku orangnya, karena pria dengan beban emosional sepertiku hanya akan membuat Dinda ikut menderita.
Aku pernah berjanji kepada orang tuanya untuk menjaga Dinda. Mereka sosok yang aku hormati, jauh melebihi orang tuaku sendiri. Aku tidak ingin menghancurkan kepercayaan mereka dengan menodai Dinda.
Mungkin besok aku bisa pergi dari apartemen ini. Menjauh untuk sementara waktu. Karena berada di dekat Dinda hanya membuatku tak ubahnya seperti binatang liar yang dikendalikan nafsu.
Aku membasuh wajah, berharap hasratku mulai turun. Setelah mengelap wajah, aku beranjak ke tempat tidur.
Baru sekarang aku merasa tempat tidur ini begitu besar dan hanya ada aku di sini. Saat menatap sisi kosong di sampingku, bayangan Dinda bermain di benakku. Dinda yang berbaring di sampingku, tidur bersamaku.
"Shit, forget her." Aku mengumpat kasar.
Namun bayangan Dinda sulit untuk disingkirkan. Dia malah semakin kuat menancap di benakku.
Ketika memejamkan mata, aku kembali terbayang ketika mulutnya dipenuhi vibrator sialan itu. Bagaimana rasanya jika yang berada di mulutnya adalah penisku?
Bukannya lupa, benakku malah memainkan bayangan Dinda yang mengusap vibrator itu sambil menciumku. Ereksi yang kurasakan sangat tidak nyaman. Aku bisa meledak kapan saja. Sedikit lebih lama lagi, aku akan meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...