"Mas Nadiem ngasih tahu soal aduan lo." Aku berbisik pada Tami.
Tami tersenyum kecut. "Sorry, gue baru tahu belakangan setelah..."
Aku menggenggam tangannya dan menggeleng, membuat Tami berhenti menyalahkan diri. Ini bukan salahnya. Malah sebaliknya, keberanian Tami untuk speak up sangat membantu.
"Gue enggak nyangka aja ada orang sepicik itu."
Tami tergelak, dengan dagu dia menunjuk Sera dan teman-temannya. Jika biasanya mereka berlagak seperti penguasa dengan dagu terangkat tinggi, kali ini mereka seperti tikus tercebur ke got. Aku tidak tahu sudah sejauh mana penyelidikan yang dilakukan kantor ini, tapi kalau melihat sikap mereka yang gelisah, aku yakin mereka akan menerima ganjaran.
Bagaimana mungkin mereka bisa mempermainkan orang lain, menjadikannya sebagai bahan taruhan, untuk kemudian ditertawakan?
Okta, HR manager, mengumpulkan kami semua untuk townhall. Ada banyak informasi penting yang akan diumumkan. Nadiem menyimpan semuanya dariku, karena bagaimanapun aku masih berstatus karyawannya meski sudah mengirim surat pengunduran diri.
Suasana hening begitu Okta muncul ke tengah ruangan. Semua mata memandang ke arahnya. Okta enggak kenal basa-basi, jadi dia langsung menyampaikan hal penting.
"Terima kasih sudah berkumpul di sini. Ada beberapa pengumuman penting dari Pak Nadiem, tapi sebelumnya saya ingin menyampaikan hal penting." Wajah Okta yang keras membuat tak ada seorang pun berani menyelak.
Okta melanjutkan, "perusahaan ini tidak menoleransi bullying dalam bentuk apa pun. Sesuai peraturan perusahaan, pelaku bullying akan diberhentikan dengan tidak hormat. Kalian tentu sudah aware dengan berita viral dari salah satu karyawan terkait pemecatan sepihak, saya ingin meluruskan bahwa pemecatan tersebut sah karena pelaku terbukti melakukan bullying. Zero tolerance for bullying, I hope you all understand."
Arlan berusaha mencari dukungan dengan menyebar berita bohong. Dia memang berhasil mendapatkan dukungan, tapi hanya sesaat. Tidak ada bukti yang mendukung tuduhannya. Publik pun meninggalkannya, secepat dukungan itu datang, dia pun pergi dengan cepat. Kabar terakhir yang kudengar, Arlan kesulitan mendapat pekerjaan baru. Sekarang dia meniti karier sebagai content creator di media sosial.
"Kami menemukan bukti bullying terbaru yang menyangkut beberapa karyawan. Pihak HR sudah bicara dengan mereka. Bagi mereka yang mengaku bersalah, kami menawarkan pengunduran diri tanpa pesangon." Okta melanjutkan.
Aku melirik Sera. Dia terkulai lemah di kursi. Teman-temannya pun sama.
"Serve them right," bisik Tami.
"Setiap karyawan punya kesempatan untuk mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, HR membuka portal pengaduan. This is your safe space. Apa pun pengaduannya akan ditanggapi dan dicari pembuktiannya apakah benar atau salah?" Lanjut Okta. "Kita tentunya enggak mau hal yang sama kejadian lagi. Jadi jangan ragu untuk bicara. Apa pun masalahnya, kami semua terbuka untuk pengaduan dan akan mencari jalan keluar terbaik."
Semoga ini menjadi pelajaran bagi semua orang. Semoga tidak ada lagi Arlan-Arlan berikutnya.
"Pengumuman selanjutnya akan disampaikan oleh Pak Nadiem."
Nadiem bergerak ke tempat yang semula ditempati Okta. Jantungku berdebar saat melihatnya. Nadiem membenarkan letak jasnya dan menatap semua karyawan satu per satu. Dia tampak begitu berwibawa.
Bisa-bisanya dia membuatku turn on di saat seperti ini. Di tengah acara kantor. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan bagi siapa pun, terlebih Tami karena bergerak gelisah di kursi akibat Nadiem yang terlihat begitu menggoda di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...