72. Akhir Perjalanan

7.6K 888 16
                                    

Berurusan dengan hukum sangat melelahkan. Beban mental yang timbul bisa membuat seseorang menyerah. Hal tersebut dirasa lebih baik ketimbang terus menjalani proses yang seolah tak ada habisnya.

Itulah yamg dialami oleh Ibu. Jujur, meski aku hanya mendampingi, rasa lelah yang kualami tak sebanding dengan apa yang dialami Ibu. Hampir saja Ibu menyerah, tapi aku tidak mengizinkan Ibu harus mendekam di penjara atas kesalahan yang tidak diperbuatnya.

"Dinda, janji sama Ibu. Apa pun hasilnya, kamu harus bisa menerimanya dengan ikhlas."

Aku menggeleng kencang. Bagaimana aku bisa menerima dengan ikhlas selama Ibu mendapat perlakuan tidak adil?

"Aku enggak akan menyerah. Ibu juga," bantahku.

"Ibu lelah, Dinda."

Wajah Ibu tidak bisa berbohong. Masalah ini menguras tenaganya. Ibu terlihat lebih kurus. Seolah-olah Ibu bertambah tua beberapa tahun lebih cepat dalam waktu singkat.

Aku melepas Ibu masuk ke dalam ruang pemeriksaan dengan berat hati. Kalau saja bisa, aku ingin menggantikan Ibu. Biar aku yang menghadapi cecaran polisi selama berjam-jam. Kalaupun harus mendekam di penjara, biar aku yang menggantikan Ibu.

Beruntung ada pak Ghani. Beliau begitu piawai dalam menangani kasus ini. Aku belum pernah memiliki pengacara sebelumnya, Pak Ghani memberikan perspektif berbeda. Terlepas dari bayarannya yang berada di luar batas kemampuanku, Pak Ghani bekerja dari hati. Beliau juga yang turut menyemangati Ibu agar tidak menyerah. Karena keyakinannya, aku percaya badai ini bisa berlalu.

Aku duduk gelisah, menunggu pemeriksaan yang harus dijalani Ibu. Entah apa lagi yamg harus diperiksa. Kalau saja polisi di sini tahu apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak akan mau buang-buang uang dan waktu untuk mengusut kebohongan ini.

Pak Ghani memberikan sedikit harapan bahwa masalah ini bisa selesai tanpa harus dibawa ke pengadilan. Tentunya akan lebih cepat jika Nyonya berubah pikiran, tapi aku ragu dia mau mengaku kalah.

Kalaupun harus masuk ke pengadilan, masalah ini bisa makin berlarut. Namun Pak Ghani meyakinkan bahwa akan lebih mudah membuktikan Ibu tidak bersalah jika kasus ini masuk ke pengadilan.

Aku refleks berdiri saat Pak Ghani keluar dari ruang pemeriksaan. Beliau hanya memberi kode sebentar, sebelum meninggalkanku untuk berbicara di telepon. Aku menunggu dengan jantung berdebar kencang.

Siapa yang meneleponnya? Apa ada hubungannya dengan Ibu?

Pak Ghani kembali ke ruang pemeriksaan usai mengangkat telepon tersebut. Dia berhenti saat melihatku menunggu di dekat pintu.

"Sebentar lagi, semuanya akan selesai," ujarnya. Pak Ghani menepuk punggungku pelan sebelum kembali masuk ke ruangan tersebut.

Sebentar yang dimaksud Pak Ghani berlangsung selama hampir lima jam. Aku mengabaikan perut yang keroncongan, juga rasa lelah akibat duduk di kursi keras yang tidak nyaman selama berjam-jam. Aku ingin ada di sini saat Ibu dan Pak Ghani keluar dari ruangan tersebut dengan membawa kemenangan.

Aku tidak tahu caranya bernapas. Hal pertama yang kulihat adalah Ibu terhuyung-huyung keluar dari ruangan tersebut.

Ibu memelukku erat. Tangisannya segera pecah saat memelukku. Ada banyak pertanyaan di benakku, tapi aku menundanya dan membalas pelukan ibu.

"Dinda, semuanya sudah selesai. Kamu bisa membawa ibumu pulang." Perkataan pak Ghani menyita perhatianku.

Tanpa melepas pelukanku di tubuh Ibu, aku mengucapkam terima kasih kepada Pak Ghani.

Begitu melangkah keluar dari kantor polisi, beban berat yang menggelayuti pundakku akhirnya diangkat.

**

"Pengakuan penggugat tidak bisa dibuktikan. Bukti yang dihadirkan juga lemah. Saksi yang mereka hadirkan langsung ketahuan berbohong." Pak Ghani memberi penjelasan. Setelah menemani Ibu beristirahat, aku menuju hotel tempat Pak Ghani menginap dan meminta penjelasan.

"Siapa yang jadi saksi?"

"Mantan kerja ibumu, Rosani"

Aku terbelalak saat mendengarnya. Tentu saja aku mengenalnya. Sama seperti Ibu, beliau juga asisten rumah tangga di sana. Kalau Ibu bekerja keras, Bi Ros justru sering melampiaskan pekerjaannya agar dikerjakan oleh Ibu. Sejak kecil aku tidak menyukainya. Dia memiliki aura negatif yang membuatku malas berurusan dengannya. Ibu pernah bertengkar dengannya ketika Ibu memergokinya memarahi Nina yang mogok makan. Saat itu, Nina baru berumur lima tahun. Beliau juga tidak menyukaiku, apalagi kalau aku berada di perpustakaan. Setiap kali melihatku, ada-ada saja hal yang membuatnya marah. Aku tidak heran jika Nyonya membayarnya untuk membuat keterangan palsu.

"Paling juga dia yang maling," dengkusku.

Apa pun bukti yang ada, jelas saja bisa dimentahkan begitu saja karena kenyataannya pencurian itu tidak pernah ada. Semua bukti dan kesaksian hanya mengada-ada.

"Bu Sophia akhirnya memutuskan untuk mencabut laporan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Kalau dia bersikeras dan kasus ini sampai ke pengadilan, dia pasti kalah. Dia bisa mengalami kerugian besar, karena kamu dan Ibumu bisa menuntut ganti rugi. Sebelum itu terjadi, pengacaranya membujuk untuk menyudahinya sekarang," lanjut Pak Ghani.

Aku tidak berterima kasih sekalipun dia mencabut laporan ini. Sampai kapan pun, aku tidak akan bisa memaafkannya.

"Setelah ini apa lagi, Pak?" Tanyaku.

"Hanya urusan administratif. Kamu tidak perlu khawatir. Ibumu tidak perlu lagi ke kantor polisi."

Penjelasan itu benar-benar membuatku menarik napas lega. Setelah semua yang terjadi, aku tidak lagi yakin punya kekuatan untuk melawan.

Aku kembali ke rumah dengan hati lega. Aku segera mengabari Nadiem. Dia harus tahu soal kabar ini. Namun teleponku tidak diangkat, sehingga aku meninggalkan pesan.

Beberapa hari lagi. Begitu Ibu sudah baik-baik saja, aku akan kembali ke Jakarta. Nadiem berjanji akan mejemputku, tapi tak ada salahnya jika aku yang menemuinya.

Aku membuka kamar Ibu. Beliau masih terlelap. Aku berbaring di sampingnya. Raut lelah di wajah ibu membuat hatiku mencelus.

Ini semua terjadi karena aku mencintai pria yang berada jauh di luar jangkauanku. Ibu tidak perlu menderita jika aku tidak bersikeras mempertahankan pernikahanku.

Karena cinta, aku menyakiti ibu.

Namun, aku juga tidak bisa melepaskan Nadiem. Aku sudah berjanji di hadapan Ayah untuk selalu mencintai Nadiem. Aku tidak yakin, apakah ada pria lain yang bisa mencintaiku seperti Nadiem?

Semoga Ibu bisa mengerti dan menerima keputusanku.

Aku memejamkan mata, membiarkan lelah menguasai. Besok, aku akan terbangun dengan hati ringan dan bisa menatap masa depan dengan lebih terang.

Rasanya seperti baru tertidur beberapa menit ketika aku terbangun saat mendengar pintu diketuk. Aku meraih handphone dan melihat jam.

Hampir pukul sepuluh malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Aku beranjak menuju pintu. Aku sengaja mengintip dari balik gorden, tidak ingin berhadapan dengan orang yang tak kuinginkan saat membuka pintu.

Napasku tercekat saat menyadari siapa yang berada di balik pintu. Buru-buru aku membuka kunci pintu.

Dan berhadapan dengan Nadiem.

"Mas, kamu kok bisa di sini malam-malam begini?"

Nadiem tersenyum. "Aku ingin menjemput istriku pulang."

Jawabannya membuat jantungku berdebar kencang. Aku tidak sempat menjawab karena bibir Nadiem membungkamku ke dalam ciumannya.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang