16. Can't Forget

14.8K 1K 54
                                    

Sejak malam itu, aku tidak pernah bertemu Nadiem lagi. Itu tiga hari yang lalu. Entah Nadiem sengaja menghindar atau memang dia harus ke Singapura, apa pun itu, aku bersyukur. Setidaknya jarak bisa membuatku memikirkan langkah apa yang sebaiknya kuambil.

Aku tidak mau suasana jadi canggung. Aku juga tidak mau kehadiranku membatasi Nadiem. Baru kusadari, selama tinggal di sini, Nadiem tidak pernah membawa siapa pun ke apartemen ini. Aku tidak tahu status Nadiem, entah dia punya pacar atau tidak. Aku akan merasa sangat bersalah jika kehadiranku menumpang di sini membuat Nadiem tidak lagi bisa sebebas biasanya.

Hal ini tidak bisa dibiarkan. Nadiem memberitahu dia akan pulang malam ini. Sembari menyiapkan makan malam, aku meneguhkan diri untuk membahas hal ini.

Juga melupakan bayangan Nadiem yang telanjang dari ingatanku.

"Hai."

Aku terlonjak saat mendengar sapaan Nadiem. Setelah menghela napas beberapa kali, aku membalikkan tubuh.

Just forget about the naked Nadiem.

"Hai, Mas."

Percuma, karena begitu aku menatapnya, ingatanku menghadirkan kembali Nadiem dalam keadaan telanjang. Dadanya yang bidang dan dipenuhi tato. Perutmya yang berotot dan seksi berkat goresan tato.

Dinda, don't think about it.

Juga penisnya, yang membuatku uring-uringan sepanjang malam. I want to see it. I want to touch it. I want to feel him inside my body. Baru kali ini aku kesulitan mengendalikan hawa nafsu dan bayangan liar di benakku.

Nadiem berdiri dalam pakaian lengkap. Penuh lapis. Namun mataku seolah menatap Nadiem yang telanjang.

"Baunya enak, aku makin lapar." Nadiem menunjuk pintu kamarnya. "Aku mandi dulu."

Bagus, karena sekarang bayanganku memainkan Nadiem telanjang di bawah pancuran shower.

Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harua bisa mengendalikan diri. Jangan sampai Nadiem menganggapku perempuan binal dan membuatnya tkdak nyaman berada di dekatku.

Tabunganku belum cukup untuk mencari tempat tinggl baru. Aku masih butuh belas kasihan Nadiem dan menumpang di sini.

Waktu terasa berjalan begitu cepat ketika Nadiem sudah bergabung denganku di meja makan. Aku sampai pangling melihatnya. Setiap kali di rumah, Nadiem seringnya memakai celana pendek. Kadang pakai kaus, kadang tidak. Namun malam ini dia memakai celana training panjang dan kaus lengan panjang.

"Ayam kari. Ini kan favoritku, ibumu sering masak." Dengan santai, Nadiem duduk di salah satu kursi bar.

Sikapnya begitu santai, berbanding terbalik denganku yang salah tingkah. Aku menghela napas, berusaha untuk bersikap biasa, seperti yang dilakukan Nadiem.

"How's your day?" Tanyanya.

Ada untungnya Madiem bersikap seperti ini, jadi aku bisa menelan semua rasa canggung yang sejak tadi menguasaiku.

Sebaris senyum terkembang di wajahlu. "Coba tebak, aku dapat kabar bagus."

"Kamu keterima kerja?"

Aku refleks tergelak mendengar pertanyaan Nadiem. Dia bisa menebak dengan mudah.

Satu-satunya yang bisa mengalihkan perhatianku dari ingatan akan Nadiem adalah email pemberitahuan dari BeautyLab.

"Di mana?"

"BeautyLab," sahutku.

Mata Nadiem membola. "I've told you, mereka enggak akan menyia-nyiakan talenta berbakat seperti kamu. Artinya kamu jadi karyawanku."

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang