"Mas..." Aku menahan langkah Nadiem yang membawaku keluar dari lift dan di hadapanku terbentang lobi Westin Hotel yang mewah. "Kita mau makan malam di sini?"
Nadiem menatapku dan mengangguk.
Aku refleks meringis. "Mas, bajuku lebih cocok diajak makan pecel ayam pinggir jalan ketimbang di restoran ini."
Nadiem hanya terkekeh. Dia tidak menghiraukan kegusaranku.
"Kita pindah tempat aja ya."
"Aku sudah reservasi. Lagian, aku lapar banget." Nadiem meraih pinggangku. Sambil merangkulku, dia membimbingku melintasi lobi.
Aku seperti upik abu yang dipaksa ikut ke acara pesta kerajaan. Terlebih saat memasuki Henshin, restoran mewah yang terletak di salah satu hotel tertinggi itu. Rasanya semua mata memandangku penuh penghakiman, membuatku sadar bahwa aku tak pantas berada di sini.
Nadiem tidak memberitahuku soal ajakan ini. Aku juga tidak tahu dia mengajakku ke restoran mewah ini. Aku hanya memakai celana jeans dan camisole yang dilapis cropped blazer. Sebelum pergi, aku hanya sempat memulas lipstik dan menyisir rambut ala kadarnya. Aku benar-benar merasa tersasar di tempat ini.
Berbanding terbalik denganku, Nadiem begitu rapi dengan three piece suit yang selalu menjadi andalannya.
"Mas, lihat deh, pada rapi gitu. Aku kelihatan lusuh," bisikku.
"Dinda." Nadiem berkata tegas. Dia menghadapku, sengaja menunduk agar bisa menatapku. "I don't care. Aku bisa reservasi seluruh restoran kalau kamu enggak nyaman dilihatin orang lain. Aku mau makan malam denganmu, aku enggak peduli dengan pakaianmu."
Aku menghela napas panjang dan mengangguk. Nadiem kembali merangkul pinggangku dan membawaku mengikuti pelayan yang mengarahkan ke meja yang dipesannya. Beruntung Nadiem meraih area privat sehingga aku tidak perlu memikirkan perkataan orang.
Meja itu terletak di dekat jendela. Berada di lantai 69, pemandangan di luar jendela sangat cantik. Lampu berkerlip dari gedung tinggi di sekeliling membuat mataku tak pernah bosan memandang.
Ini pengalaman pertamaku makan di tempat mewah seperti ini, jadi aku menyerahkan semuanya pada Nadiem. Apa pun yang dipesannya, pasti enak.
Restoran ini memiliki pencahayaan remang yang mempertegas pemandangan di luar. Aku terkesiap saat pelayan menyalakan lilin di meja. Suasananya begitu romantis. Aku tidak berani menghadirkan momen romantis seperti ini di dalam cerita yang kutulis, karena aku belum pernah merasakannya. Namun malam ini, aku seolah menjelma menjadi female lead di novel romantis.
Terlebih saat melihat Nadiem yang duduk di hadapanku. Begitu tampan dan mempesona. Rasanya seperti mimpi.
"Kenapa?" Tanyanya.
Aku menghela napas panjang. "Suasananya... romantis."
Seharusnya aku membenci suasana seperti ini, karena hanya membuat harapan di hatiku semakin membesar.
"Kamu pernah minum wine?"
Aku menggeleng. Di saat yang sama, pelayan datang dan menuangkan wine ke gelas di hadapanku.
"Kalau kamu keberatan, aku bisa memesan air mineral," ujar Nadiem. "Aku sengaja pesan wine yang agak manis untukmu."
Aku kembali menggeleng, lalu mengikuti Nadiem dan mengambil gelas tersebut. Nadiem mendentingkan gelas itu ke gelasku. Tatapannya tak beranjak dari mataku saat menyesap minuman.
Perlahan, aku menyesap wine tersebut. Rasanya agak kering, dan ada sedikit rasa manis di baliknya.
"Suka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...