"Sehat, nduk?"
Aku mengangguk. Setidaknya kali ini aku tidak perlu memaksakan senyum saat mengangkat telepon Ibu. Keadaan saat ini jauh lebih baik, meski aku masih kucing-kucingan dengan Ibu yang tidak tahu aku menumpang di apartemen Nadiem.
Mengingat Nadiem membuatku refleks mengangkat mata. Apartemen ini kosong karena Nadiem berada di Singapura selama tiga hari terakhir. Katanya akan pulang hari ini, tapi aku tidak tahu pukul berapa.
Jujur, aku merindukan Nadiem, tapi menyimpannya dalam hati. Aku tidak mau dicap manja karena tidak bisa berjauhan dengannya.
Nadiem pacar pertamaku. Perasaanku begitu menggebu, aku tidak ingin malah membuat Nadiem jadi terganggu. Aku sengaja menekan perasaan tersebut dalam-dalam, hanya aku yang tahu betapa besarnya rindu yang kumiliki kepadanya.
Bersama Nadiem hanya mempertebal perasaanku kepadanya.
"Bagaimana kantor barumu?"
Aku kembali tersenyum. "Kantornya menyenangkan. Teman-temanku juga asyik. Tapi ya sering pulang malam kalau lagi ada campaign."
"Ibu masih bingung kerja kamu itu apa," celetuk Ibu.
Aku refleks tertawa. Ayah dan Ibu tidak begitu melek teknologi, jadi mereka kesulitan memahami bidang pekerjaanku. Aku beruntung memiliki orang tua yang tidak memaksakan kehendak, sehingga aku bebas memilih jalan hidup yang kuinginkan.
Dulu, aku pernah bertanya mengapa Ibu tidak pernah mengeluh meski pekerjaannya berat. Ibu tidak pernah malu dengan pekerjaannya, malah beliau bangga karena kehadirannya sangat berarti di hidup Nadiem dan Nina. Ibu mengajarkanku untuk tulus mengerjakan tanggung jawab, agar tidak berat menjalani.
"Kantorku sekarang aplikasi jualan online. Ibu tahu bos besar aku siapa?"
Di layar handphone, Ibu mengerutkan kening.
"Mas Nadiem."
"Nadiem?" Tanya Ibu.
Aku mengangguk. "Perusahaannya Pak Malik kan banyak, salah satunya marketplace. Aku kerja di BeautyLab, dan bos besar aku Mas Nadiem."
Wajah Ibu tampak berseri saat mendengar ceritaku. "Kamu sering ketemu Nadiem di kantor?"
Aku menggeleng. "Aku kerja di lantai 20, Mas Nadiem di 29. Dia sibuk banget."
Dadaku berdebar karena membicarakan Nadiem. Rasanya ingin berbagi kabar bahagia bahwa aku pacarana dengan Nadiem kepada Ibu, tapi aku mendadak ragu.
"Kalau kamu sempat ketemu Nadiem di kantor, kamu lihat keadaannya. Ibu khawatir kalau dia sudah sibuk begitu makannya enggak keurus," ujar Ibu.
Ibu tidak salah. Kalau sudah sibuk, makannya jadi tidak terurus. Aku sering mengingatkannya untuk makan meski di hari kerja, cukup sulit memasak untuknya. Mungkin di akhir pekan besok aku bisa memasak lagi.
Bunyi pintu terbuka membuatku terkejut. Tak lama, sosok Nadiem muncul dari balik pintu. Aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari sosoknya. Wajahnya yang lelah tidak menutupi senyum semringah di wajahnya. Langkah kakinya yang panjang membuatnya segera berada di dekatku.
Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku masih mengobrol dengan Ibu. Tidak ada waktu untuk menyudahi obrolan.
Tak lama, Nadiem berada di dekatku. Tangannya sudah terulur untuk memelukku, tapi urung ketika melihat Ibu di layar handphone.
"Ibu," serunya heboh. "Apa kabar, Bu?"
Ibu tidak segera menyahut. Kerutan di keningnya cukup memberitahu kebingungannya mendapati Nadiem berada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...