"Kamu mau pergi?"
Aku mendapati Nadiem berdiri di pintu kulkas dengan botol minum di tangannya. Tadi pagi dia berpamitan untuk main golf dengan tuan besar. Meski dia bersungut-sungut dan enggan untuk pergi, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk melawan titah ayahnya.
Semula aku pikir Nadiem baru pulang malam. Mungkin aku tidak ingin bertemu dengannya sebelum pergi dari apartemen ini untuk menemui Arlan. Aku tidak mungkin bisa lupa kejadian beberapa malam lalu, ketika aku merasa Nadiem cemburu kepada Arlan. Dia memang tidak mengakui dengan terang-terangan, tapi Nadiem juga tidak membantah tuduhanku.
Rasanya tidak masuk akal jika Nadiem cemburu. Apa yang membuatnya cemburu?
"Ada janji sama teman," sahutku.
Dari tempatnya, Nadiem menatapku tajam. Dia meneliti penampilanku. Aku bergerak gelisah di tempat, menunggu tanggapan Nadiem.
"Teman spesial?" tebaknya.
Aku hanya tertawa kecil. "Kenapa nebak begitu?"
"Kamu lebih effort dibanding biasanya."
Arlan terang-terangan mengajakku kencan. Meski aku tidak seratus persen ingin menerima ajakan itu, aku tetap menerimanya. Aku masih belum sepenuhnya yakin dengan perasaanku, jadi tidak ada salahnya menerima ajakan Arlan. Untuk terakhir kalinya. Aku akan menyudahi hubungan dengan Arlan jika makan malam ini tidak menghadirkan perasaan yang kuat untuknya.
Jika dipikir-pikir, aku cukup jahat karena memanfaatkan Arlan. Namun, aku tidak bisa terus-terusan menjalani hari dengan perasaan bingung seperti ini.
Hatiku harus memutuskan, siapa yang kuinginkan? Arlan atau Nadiem?
Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Nadiem. Setiap tindakannya membuatku bertanya-tanya. Aku memang mengenal Nadiem, tapi di saat yang sama, dia juga terlihat sebagai sebuah misteri besar.
"Jadi, mau pergi sama siapa?"
"Arlan," sahutku.
Raut wajah Nadiem berubah kusut. Tidak ada kesan ramah di sana. Wajahnya terlihat keras, seperti seseorang yang menyimpan amarah. Lagi aku bertanya, apakah Nadiem cemburu?
"Kencan?" tanyanya. Suaranya terdengar datar.
"Arlan bilangnya gitu."
"Congratulations."
Hatiku mencelus saat mendengar nada datar di balik ucapannya.
"Aku jalan dulu ya, Mas." Aku sengaja berdiri lama di dekat pintu, menunggu sahutan Nadiem.
Dalam hati, aku berharap Nadiem melarangku pergi. Jika dia keberatan dan menyuruhku tetap tinggal di apartemen, aku akan dengan senang hati melakukannya.
"Hati-hati di jalan."
Sekali lagi, hatiku mencelus saat mendengar ucapannya. Mengapa aku berpikir Nadiem akan melarangku pergi?
Satu hal yang konsisten dalam hidupku, aku selalu menyukai pria yang berada jauh di luar jangkauanku. Arlan salah satunya. Nadiem juga.
Aku menggeleng, mengusir semua pemikiran barusan, dan membuka pintu.
"Adinda."
Sejumput harapan langsung menguasai hatiku. Meski aku menolak kehadirannya, aku menyerah dan membiarkan harapan itu tumbuh ketika aku berbalik untuk menghadap Nadiem.
"Sekarang kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan kalau dia menciummu. Kamu bisa mempraktikkan apa yang sudah aku ajarkan." Nadiem tersenyum sinis.
Seolah ada yang menghantam hatiku. rasanya menyakitkan, ketika mengetahui Nadiem berpikir aku akan menikmati ciuman pria lain sementara saat ini, satu-satunya yang kuinginkan adalah dia melarangku pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...