Berbanding terbalik denganku yang masih mengucek mata, Nadiem sudah terlihat segar saat membuat protein shake di dapur. Pagi ini dia memakai pakaian olahraga, dengan atasan sleeveless yang menampakkan tato di lengannya.
"Semalam kamu begadang?" Tanyanya.
Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Lampu kamarmu masih menyala waktu aku ambil minum ke luar. Lagi bikin apa?" Nadiem menatapku ingin tahu.
Semalam tiba-tiba saja aku mendapat dorongan untuk menulis. Kantuk yang tak kunjung datang membuatku memilih untuk membuka laptop. Tanpa sadar, sudah lewat pergantian hari ketika aku cukup puas dengan cerita yang kutulis.
"Lanjutin novel online." Aku menyahut seadanya.
"Oh ya? Boleh baca enggak?"
Buru-buru aku membuka pintu kulkas dan membiarkan hawa dingin menerpa untuk menghilangkan semu merah di wajahku. Nadiem tidak boleh tahu tentang novel yang kutulis karena dia kembali menjadi tokoh utama dalam ceritaku. Awalnya aku menjadikan Arlan sebagai tokoh utama, tapi sejak tinggal bersama Nadiem, sosoknya tergeser dan digantikan oleh Nadiem.
"Enggak seru. Mas bakalan buang-buang waktu aja." Aku beralasan. "Mau olahraga?"
"Mau lari ke GBK. Ikut enggak?"
Aku teringat akan niatku untuk kembali rajin olahraga, tapi rasa malas selalu menang. Saat melihat Nadiem, aku mengusir rasa malas itu jauh-jauh.
"Boleh. Sebentar ya."
Aku berlari menuju kamar dan mengambil pakaian olahraga. Saat menatap pantulan bayanganku di cermin, aku jadi ragu untuk melanjutkan niat. Pakaian olahraga yang ketat membuat tubuhku tercetak dengan jelas. Aku menatap dada yang terbungkus sports bra dan perut yang terbuka. Tidak mungkin aku memamerkan perut penuh lemak kepada orang-orang. Aku mengambil kaus dan memakainya, berharap lemak-lemak di tubuhku bisa tersembunyi. Namun tak ada yang bisa menyembunyikan bokongku.
"Din, yuk. Keburu siang." Panggilan Nadiem membuatku segera beranjak dari depan cermin.
Nadiem menatapku cukup lama. Tatapannya seolah sedang menggerayangiku. Cemas melanda, bagaimana kalau Nadiem malu jalan dan olahraga dengan perempuan gemuk seperti aku?
"Mas, aku..."
"Yuk, nanti keburu panas." Nadiem menarikku keluar dari apartemen, sebelum nyaliku ciut.
Nyaliku semakin jatuh ketika tiba di GBK. Perempuan cantik yang stylish dalam pakaian olahraga membuatku seperti itik buruk rupa.
"Mas duluan aja. Lariku pelan." Aku memberi tahu Nadiem yang sibuk pemanasan.
"Kita pemanasan bareng," ajaknya.
Tak punya pilihan, aku mengikuti gerakan Nadiem. Setiap detik terasa begitu meresahkan karena aku sibuk mengusir perasaan rendah diri yang mendadak datang.
"Ketemu di Indomaret ya." Nadiem melambai sebelum meninggalkanku.
Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu bersamanya, tapi aku tidak ingin menghambat Nadiem. Lariku yang seperti siput pasti membuatnya frustrasi.
Aku menulikan telinga dan menutup diri dari keriuhan di sekitar dengan mendengarkan lagu sambil berlari. Cara ini cukup membantu agar aku bisa konsentrasi dan lupa akan capek. Namun, aku hanya bertahan empat putaran sebelum menyerah dan menuju minimarket di area GBK untuk membeli minuman.
Aku tengah mengecek komentar pembaca di cerita yang kutulis ketika seseorang menghempaskan tubuhnya di sampingku. Nadiem yang bersimbah keringat, entah kenapa terlihat begitu seksi. Berantakan dan lusuh, tapi seksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...