"Morning, Sunshine."
Aku tidak bisa menahan senyum saat mendengar panggilan itu. Rasanya... tidak nyata.
Semalam, aku pulang seperti seorang pecundang yang kalah dalam perang. Harga diriku hancur, tak ada yang tersisa. Aku berada di titik terendah. Malam itu, aku sangat membenci diriku, terlebih tubuhku. Aku tidak berani menatap bayanganku di cermin karena hanya akan disadarkan pada fakta yang kubenci.
Hanya sementara, karena dengan caranya sendiri, Nadiem mengusir semua rasa rendah diri itu.
Arlan menghancurkanku, dan Nadiem membantuku kembali bangkit.
Apa yang terjadi semalam terasa tidak nyata. Seolah terjadi di dimensi lain.
Aku membalas ciuman Nadiem. Setiap ciumannya menghapus sisa-sisa pahit yang ditimbulkan Arlan. Nadiem menyembuhkanku.
Nadiem menghentikan kegilaan itu, sesaat sebelum aku menyerahkan tubuhku kepadanya. Dia mengecup keningku dan memintaku tidur. Dia menyudahi di saat aku ingin memulai lebih dengannya.
Ketika aku terbangun pagi ini, setiap fragmen yang terjadi sebelumnya bermain di benakku. Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?
Nadiem bilang dia menginginkanku. Aku bisa merasakan betapa kerasnya kejantanannya saat menusuk bokongku. Tusukan keras yang membuatku gelap mata. Rasanya ingin menelanjangi diriku sendiri agar Nadiem bisa memuaskanku.
Jika dia menginginkanku, mengapa dia malah meninggalkanku?
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban hingga pagi ini.
"Sarapan dulu, lalu kita ke kantor bareng." Nadiem meraih tanganku dan membawaku ke kitchen island. "Senyum, dong. Rise and shine, Baby!"
Aku sontak tertawa mendengar penuturannya.
"Begitu dong." Nadiem menangkup kedua sisi wajahku dan menciumku. Bukan ciuman liar penuh gairah, melainkan ciuman lembut yang membuatku merasa disayang. "Aku bikin pancake."
Meski berusaha menahan tawa, sebaris tawa tipis tetap meluncur dari bibirku.
"What?"
Aku mengusap bibirnya. "Ada lipstikku."
Nadiem terkekeh. "Mulai besok, jangan pakai lipstik dulu sebelum aku memberikan ciuman selamat pagi."
Darahku berdesir saat mendengarnya. Perutku mendadak mulas. Semuanya karena perasaan asing yang menghinggapi hatiku.
Aku ingin bertanya, memperjelas maksud Nadiem. Namun lidahku kelu. Cukup sekali, ketika aku bertanya pada Arlan dan mendapatkan hasil yang tidak sesuai. Aku tidak ingin merusak apa pun yang terjadi antara aku dan Nadiem.
Nadiem tidak mungkin menyukaiku. Dia berada di strata yang berbeda denganku. Nadiem tidak akan pernah membalas perasaanku, anak pembantu yang sudah dianggapnya sebagai adik.
Mungkin ucapan Arlan ada benarnya. Aku tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya dicintai. Terlepas dari apa pun yang terjadi antara aku dan Arlan, mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan aku merasakan keintiman.
Nadiem meletakkan pancake di hadapanku. "Makasih, Mas."
Sebelum pergi, Nadiem kembali menciumku sekilas. Namun itu sudah cukup untuk melambungkan hasratku setinggi-tingginya.
Ini hanya sementara. Enjoy it while it lasts, Dinda.
Aku makan dalam diam karena tidak ingin mengganggu Nadiem yang tengah online call dengan koleganya. Masih pagi, tapi dia sudah sibuk. Dalam diam, aku meneliti Nadiem, berusaha untuk tidak kentara. Dia begitu tampan dan mempesona. Dalam balutan jas itu, Nadiem tampak begitu berkuasa.
Perutku kembali melilit saat menyadari betapa besar jurang yang memisahkanku dan Nadiem.
"Kita berangkat sekarang?" Tanya Nadiem saat melihat piringku yang sudah kosong.
Aku mengangguk. Nadiem mencegahku yang ingin mencuci piring dengan alasan diburu waktu. Napasku terkesiap ketika Nadiem menggenggam tanganku saat keluar dari apartemennya, hingga berada di parkiran.
Nadiem mempunyai dua mobil untuk mengakali ketentuan ganjil genap di jalanan Jakarta. Fakta itu kembali membuatku tersadar. Hanya di alam mimpi, aku bisa hidup bersama Nadiem. Di kenyataan, hal tersebut mustahil.
"Aku sudah mengatur jadwalku hari ini, jadi bisa pulang cepat. Kita makan malam di luar ya." Nadiem menatapku lekat-lekat.
Aku mengangguk.
"Aku belum bayar janji buat traktir kamu sehabis gajian."
Nadiem tertawa. "Next time. Tonight is mine."
Meski tersenyum, aku mati-matian menyuruh hatiku untuk tidak mengembang dan melambung bersama harapan. Ini hanya makan malam. Bukan kali ini saja Nadiem mengajakku makan malam. Jadi tidak ada hal spesial yang seharusnya membuatku berharap banyak.
Kekecewaan demi kekecewaan seharusnya membuatku sadar dan tidak lagi melambungkan harapan.
Aku berhenti berpikir ketika sampai di kantor. Lagi-lagi, Nadiem menggenggam tanganku sampai ke lift.
"Mas, aku naik lift reguler aja," elakku saat Nadiem membawaku ke lift VIP.
"Kita di sini aja karena..." pintu lift terbuka dan Nadiem membawaku masuk. Hanya ada kami berdua di dalam lift itu. "Kerjaanku hari ini bakalan padat banget, mikirinnya aja udah bikin capek duluan. Aku butuh recharge energi."
Aku terkesiap saat Nadiem menciumku. Dia mendekapku erat, membuatku melingkarkan lengan di lehernya sehingga tak ada jarak. Juga membuatku lebih leluasa dalam membalas ciumannya.
Setelah merasakan ciuman Nadiem, aku tidak bisa membayangkan pria lain menciumku. Nadiem benar, dirinya sudah cukup untukku. Tidak perlu pria lain.
Meski dirinya hanya untuk sementara.
Nadiem melepaskanku saat lift berhenti di lantaiku.
"Akhirnya, sudah di-charge." Dia terkekeh. "Sampai jumpa sembilan jam lagi."
Aku melangkah keluar dari lift dengan wajah bersemu merah.
"Din," panggilnya, membuatku memutar tubuh untuk menghadapnya. Nadiem menahan pintu lift agar tetap terbuka. "You better see yourself in the mirror. Lipstikmu berantakan."
Aku tergelak. "You too."
Nadiem mengusap bibirnya yang ikut merah karena lipstikku. "Bye, Sayang. Sampai ketemu sembilan jam lagi."
Aku terpaku di tempat, menatap pintu lift yang tertutup sampai tak lagi bisa menatap Nadiem.
Meski begitu, ucapannya masih terngiang di benakku.
Dia memanggilku sayang.
Satu kata itu berhasil membuatku melambungkan angan dan tak ada kekuatan tersisa untuk mencegah harapan agar tidak berkembang terlalu jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
Storie d'amoreSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...