"Apa bedanya? Kan sama-sama tisu."
Aku menatap Nadiem malas, benar-benar kehabisan kata-kata. Jadi begini rasanya belanja sama orang yang enggak pernah mempersalahkan budget?
Nadiem mengajakku belanja, berhubung sudah banyak kebutuhan di apartemen yang habis. Awalnya aku tidak berekspektasi apa-apa, toh ini hanya belanja biasa. Ternyata, berbelanja kebutuhan rumah bersama orang yang disayang sangat menyenangkan.
Aku bisa membayangkan ini akan menjadi kegiatan rutin. Bayangan itu tidak bisa menghapus senyum di wajahku.
Tidak seharusnya aku memupuk bayangan yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Aku hanya akan terpuruk karena dikecewakan oleh harapanku sendiri.
Aku memang mencintai Nadiem. Perasaannya kepadaku juga terasa nyata. Namun aku tidak bisa mengingkari kenyataan akan adanya jurang besar yang membentang.
"Yang ini lebih mahal." Aku mengambil tisu dari tangannya dan meletakkannya kembali di rak. Sebagai gantinya, aku mengambil tisu lain.
"Cuma beda dua ribu."
Aku meliriknya lewat sudut mata. "Bayangin kamu beli sepuluh barang, beda harganya dua ribu. Totalnya dua puluh ribu, lumayan buat parkir."
Nadiem menyengir lebar, membuatku ingin memeluknya karena gemas.
"Oke, terserah kamu. Aku ngikut aja." Nadiem mengangkat kedua tangannya.
Aku beranjak menuju rak berikutnya, dan Nadiem mengikuti sambil mendorong troli. Sesekali, dia masih saja protes ketika aku membandingkan harga. Sebagai seseorang yang terbiasa hidup hemat, perbedaan harga merupakan hal yang harus diwaspadai.
"Mau beli camilan," celetuknya. Nadiem mendorong troli menuju rak berisi makanan ringan.
Kali ini, aku membiarkannya mengambil makanan yang dia suka. Percuma mendebat, masalah selera Nadiem tidak akan mengalah. Dia tidak akan menukar Hershey's Kisses dengan cokelat apa pun.
Aku mengamati Nadiem lekat-lekat. Dia suka menyemil, tapi hasil camilan itu tidak terlihat di tubuhnya. Nadiem memang mengimbangi dengan olahraga, tapi seharusnya camilan jahat itu akan terlihat sekalipun diimbangi dengan olahraga rutin. Nyatanya, tubuh atletis dengan otot-otot bertonjolan tetap dimilikinya.
Berbeda denganku. Menyemil cokelat di malam hari hanya akan menambah berat badan.
Satu lagi perbedaan nyata di antara aku dan Nadiem. Dia begitu tampan. Setiap mata selalu memandang ke arahnya, tidak bisa berkedip. Semua orang memujinya, bermimpi menjadi pasangannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengagumi tubuhnya dan aku tidak akan bosan.
Saat melihat tubuhku sendiri, aku sadar sangat jauh dari kata seksi. Aku tidak tinggi, saat bersisian aku hanya mencapai dada Nadiem. Tubuh pendek itu membuatku semakin terlihat besar. Ditambah tubuhku tidak proporsional, membuat kakiku terlihat semakin pendek. Aku memang tidak overweight, tapi berat badan yang tidak ideal membuatku terlihat gemuk.
Rasanya sangat sulit dipercaya, apa yang membuat Nadiem menyukaiku? Dia mengakui bahwa aku membuatnya bergairah, tapi aku tidak menemukan apa pun di tubuhku yang bisa membangkitkan hasrat seorang pria.
Ketakutanku adalah, perasaan Nadiem hanya sebatas kasihan.
"Kamu mau beli apa lagi?" Pertanyaan Nadiem menyentakku.
Buru-buru aku mengusir semua pemikiran tersebut dan fokus ke isi troli untuk mengecek apakah masih ada yang kurang.
"Kamu tunggu di sini aja." Aku meninggalkan Nadiem dan menuju rak berisi pembalut. Dia pasti risih jika berada di rak tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomanceSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...