21. Teach Me

18.1K 1K 58
                                    

Arlan: Kamu sibuk enggak? Nonton yuk!

Itu hal pertama yang kulihat begitu bangun pagi ini. Aku sempat merasa masih mimpi, karena tidak mungkin Arlan mengajakku nonton. Namun, aku tidak pernah memimpikan Arlan sehingga rasanya juga mustahil.

Rasa penasaran akhirnya membuatku menerima ajakan Arlan. Dia menungguku di Grand Indonesia. Sepanjang pagi hingga akhirnya bertemu Arlan, aku mencoba mengenali apa yang sebenarnya kurasakan.

Aku belum pernah diajak kencan sebelumnya. Aku tidak tahu apakah tujuan Arlan mengajakku berkencan atau tidak, tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa ajakan ini terlalu kasual untuk sekadar nongkrong. Biasanya Arlan hanya mengajakku jalan sepulang kantor. Seringnya bersama teman-teman lain. Meski di setiap sesi nongkrong itu aku sering berinteraksi dengan Arlan, tetap saja itu bukan kencan.

Ketika aku melihat Arlan sendirian, aku semakin yakin ini ajakan kencan.

Kencan di hari Minggu bersama Arlan. Rasanya ini sebuah keajaiban.

Siang ini, Arlan begitu tampan. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat basah akibat gel. Arlan begitu memperhatikan penampilan. Dia tahu dirinya memiliki ketampanan di atas rata-rata, dan dia memanfaatkannya dengan baik.

"Kita enggak janjian padahal, malah kayak couple gini."

Siang ini aku mengenakan dress kaus selutut berwarna biru muda, dan Arlan memakai polo shirt berwarna sama.

"Makan dulu ya. Filmnya masih sejam lagi."

"Aku udah makan di rumah, jadi pesan minum aja." Aku tidak bohong. Aku sengaja makan sebelum berangkat karena aku tahu tidak akan berselera makan di depan Arlan. Selama dia masih menatap piring di hadapanku dengan penuh penghakiman, aku tidak akan bisa menikmati makananku.

"Aku kaget waktu kamu ajak jalan." Aku berkata usai memesan minuman.

Arlan tersenyum, menampakkan giginya yang berbaris rapi. "Jujur, aku enggak enak hati sama kamu. Aku kepikiran terus obrolan kita malam itu."

Perutku seperti ditonjok saat mendengar penuturan Arlan. Jika bisa, aku ingin menghapus salah satu memori paling memalukan itu dari dalam benakku. Namun, Arlan malah mengungkitnya.

Arlan meraih tanganku dan menggenggamnya di atas meja. "Aku senang menghabiskan waktu denganmu. Tapi..." Wajah Arlan berubah sendu.

Aku menunggu dalam diam sampai Arlan menghela napas panjang dan melanjutkan ucapannya.

"Aku takut diselingkuhi, jadi aku begitu berhati-hati. Bukannya aku menuduhmu selingkuh, tapi aku enggak mau gegabah," lanjutnya.

Sepanjang mengenalnya, aku tidak begitu tahu siapa Arlan sebenarnya. Hal itu hanya menyadarkanku bahwa perasaanku kepadanya belum begitu dalam. Aku memang menyukainya, tapi mungkin hanya sebatas itu.

Karena kini, saat berhadapan dengan Arlan, aku tidak punya keinginan untuk mengenalnya lebih jauh.

Seharusnya kesadaran ini datang lebih awal. Sebelum obrolan malam itu terjadi.

"Tapi, aku mau mencoba sama kamu." Arlan menegaskan.

"Kenapa?"

Arlan berjengit, mungkin dia tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu.

"Karena ucapanmu malam itu."

"Kalau aku enggak nanya, kamu enggak akan mau mencoba?" Tanyaku.

"Ada orang yang butuh ditendang dulu baru sadar." Arlan terkekeh.

Meski dia bilang mau mencoba, tapi Arlan tidak memberikan kepastian seperti yang kuinginkan. Jawabannya masih terlalu mengambang.

"Lan..."

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang