Nadiem
Sayup, aku mendengarkan tangisan. Aku sampai menajamkan telinga untuk benar-benar yakin yang kudengar adalah suara tangis.
Siapa yang menangis?
Aku tersentak saat sadar bahwa aku tidak lagi tinggal sendiri di apartemen ini. Buru-buru aku menuju salah satu kamar yang beberapa waktu belakangan ditempati Dinda.
Here she is.
Hatiku mencelus saat melihat Dinda terduduk di lantai dan menangis. Dia membelakangiku, pundaknya yang bergetar membuat tangisannya terdengar semakin menyakitkan.
Aku mengepalkan tangan untuk menahan emosi. Siapa pun yang membuat Dinda menangis, sebaiknya dia berdoa agar tidak bertemu denganku.
Beberapa jam lalu, Dinda meninggalkan apartemen ini untuk berkencan dengan Arlan. Begitu tahu Dinda akan pergi dengan cecunguk sialan itu, aku tidak rela. Aku tidak ingin dia pergi dengan Arlan, atau laki-laki mana pun. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak menahan Dinda dan mengurungnya di apartemen agar tidak perlu bertemu Arlan.
Dinda menuduhku cemburu. Bloody hell I am. Melihatnya bersama Arlan menyadarkanku bahwa aku menyayangi Dinda. Dia bukan lagi sebatas perempuan yang menjadi tanggung jawabku, seperti janjiku kepada orang tuanya. Dari hari ke hari, Dinda semakin menancapkan dirinya di hidupku.
Kehadiran Dinda mengubah hidupku. Semula aku pikir cintaku sudah habis setelah dikhianati Renata. Aku membatasi diri, tidak ingin terjebak dalam cinta yang hanya membuatku jadi laki-laki bodoh. Renata adalah bukti nyata bahwa cinta bisa mengubah siapa pun jadi makhluk tolol.
Semula aku menganggap Dinda sebatas tanggung jawab. Dia sendiri, dan aku berutang budi pada orangtuanya. Sudah sepantasnya aku membantu Dinda. Dia memang tidak meminta, tapi aku tidak bisa berjauhan darinya.
Hari demi hari hanya membuat perasaanku kepadanya kian jelas. Lalu ada Arlan, laki-laki yang menarik perhatian Dinda, yang membuatku harus menahan diri untuk tidak memecatnya agar menjauhi Dinda. Aku tidak keberatan menyalahgunakan wewenang, jika itu bisa menjauhkan Dinda dari Arlan, atau laki-laki mana pun.
Sekarang, melihat Dinda menangis, rasanya ingin mengejar cecunguk sialan itu dan menghajarnya. Pasti dia yang membuat Dinda menangis.
"Dinda?" panggilku. Aku melangkah masuk ke kamar dan duduk di sebelahnya.
Dinda masih terisak. Dia menyembunyikan wajah di lengan, membuatku tidak bisa menatapnya. Aku tidak yakin bisa menahan diri jika melihat air matanya. Mendengar tangisannya saja sudah membuatku kehilangan kendali diri.
"Hai, kamu kenapa?" Aku mengusap rambutnya.
Di luar dugaan, tangisnya semakin menjadi-jadi. Aku putuskan untuk tidak mendesaknya memberikan jawaban.
"Come here, Sweetheart." Aku meraih Dinda dan membawanya ke pelukanku.
Dinda menyembunyikan wajahnya di dadaku. Tubuhnya bergetar akibat tangis. Aku tidak melakukan apa-apa selain memeluknya dan mengusap punggungnya. Apa pun yang terjadi padanya, aku harap Dinda bisa melupakannya.
Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Tak sedikit pun aku melepaskan pelukanku, berharap pelukanku bisa mengusir kesedihan Dinda.
"I'm here for you," bisikku dan mengecup puncak kepalanya.
Aku berdiam di sana, menunggu sampai Dinda berhenti menangis.
***
Dinda menerima gelas yang kusodorkan dan meneguknya. Aku kembali duduk di tempatku semula, di samping Dinda, bersandar ke sisi tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomansaSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...