77. Lazy Sunday

11.8K 705 13
                                    

Aku berpelukan dengan Bear, Donita, serta rekan kerjaku yang lain. Meski masa kerjaku di sini sebentar, tapi meninggalkan banyak kenangan berarti.

"See you on top," seru Bear. Dia atasan terbaik yang pernah kumiliki. Bear punya banyak gagasan dan membimbing setiap bawahannya dengan baik. Perusahaan ini sangat membutuhkan Bear, tapi Bear memutuskan untuk keluar. Rencananya, dia ingin membuka agensi kreatif sendiri. Apa pun jalan yang ditempuhnya, aku yakin Bear akan sukses.

"Thank you, for everything," balasku.

"Pokoknya jangan lupain gue kalau lo atau laki lo ada proyek ya," kekehnya, yang kusambut dengan tawa. He's a good friend and I'm lucky to have him.

Hampir setahun lalu, aku dipaksa keluar dari pekerjaan. Hidupku jadi serba tidak pasti. Hari-hari rasanya begitu berat. Masa depan yang suram membuatku tidak bisa berpikir panjang.

Semua hal bisa terjadi. Perubahan drastis di hidupku, tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kini, aku keluar dari ruang kantor ini dengan hati ringan. Ini keputusanku, aku mengambilnya atas kesadaranku sendiri. Tidak ada penyesalan. Masa depan masih belum paati, tapi aku bisa menatapnya dengan hati teguh.

Sebab, aku tidak sendiri.

Nadiem menungguku di lobi. Senyumnya yang hangat menyambutku.

"Ready?" Tanyanya. Dia mengambil tote bag berisi barang-barang yang kubawa dari kantor.

Aku mrngangguk. "Yes. Take me home."

Nadiem membawaku masuk ke dalam mobil yang menunggu. Meski hari ini masih pulang ke apartemen, tetap saja rasanya seperti pulang ke rumah. Karena ada Nadiem di sisiku.

***

"Jadi, sudah jelas siapa saja yang mengundurkan diri?" Tanyaku.

Hari Minggu, saatnya bersantai. Aku tidak seharusnya mengungkit hal tersebut, tapi rasa ingin tahu mengalahkan semuanya.

"Sesuai dugaan. Meski harus kehilangan beberapa talent yang dibutuhkan, tapi aku enggak bisa apa-apa. Itu pilihan mereka dan harus kuhargai," jawabnya.

Aku merebahkan diri di paha Nadiem. Dia duduk bersandar di headboard, membuatku bisa menjadikan pahanya sebagai bantal. Saat mendongak, pandanganku dipenuhi oleh tato yang menghiasi tubuhnya.

"Sudah ketemu kantor baru?"

Nadiem mrngangguk. "Sudah ada beberapa pilihan. Coworking space sudah cukup, karena yang dibutuhin enggak begitu besar."

"Gimana kalau ayahmu memintamu kembali?" Tanyaku lagi.

"Kayaknya masih butuh waktu ya, atau ada kejadian besar yang bikin Papa tobat." Meski dia berusaha bercanda, tapi aku bisa melihat pilu di katanya.

Aku mengerti mengapa Nadiem masih menyimpan harapan untuk memperbaiki hubungan dengan orang tuanya. Dia pria yang baik, dengan hati seluas samudra. Nadiem hanya menginginkan keluarga, sesuatu yang diidamkannya sejak kecil. Meski harapan demi harapan mengecewakannya, dia tidak berhenti berharap.

Itulah yang membuatku mengaguminya.

"Ibumu apa kabar?" Tanyaku.

Nadiem menghela napas panjang. "Sepertinya Mama akan tinggal di Singapura. Perceraiannya belum sah, dia sudah punya pacar aja. Aku curiga sebenarnya Mama sudah lama menjalin hubungan dengan Om Richard."

"Is it good for her?"

"I don't know. Selama Mama enggak mengganggu kita lagi, aku enggak peduli pada apa yang terjadi padanya." Nadiem membelai wajahku lembut. "Enough about them. Aku mau menagih janji, kapan aku boleh membaca ceritamu?"

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang