Nadiem
Hidupku masih penuh liku, dengan tantangan baru yang berbeda. Namun kali ini, aku menghadapinnya dengan suka cita. Sebab untuk kali pertama di hidupku, aku tidak menghadapinya sendiri. Melainkan bersama Dinda.
Ada banyak hal yang menungguku di Jakarta. Aku harus kembali untuk menyelesaikan semuanya, tapi Dinda seperti berada di persimpangan jalan. Aku mengerti karena aku juga tidak bisa meninggalkan Ibu sendiri. Setelah semua yang dialaminya, Ibu butuh Dinda.
Ibu menolak untuk ikut ke Jakarta. Kembali menghadapi pihak yang memenjarakannya tentu bukan hal yang mudah untuknya. Ibu mungkin menyayangiku dan bisa menutup mata dari fakta siapa orang tuaku. Namun aku mengerti jika Ibu enggan memaafkan kedua orang tuaku.
Aku tidak mungkin memaksa Ibu ikut. Meski berat hati, aku merelakan Dinda untuk tinggal. Aku pernah berjanji padanya, dan akan kembali berjanji, bahwa aku akan menjemputnya.
"Mas, tunggu."
Aku menurunkan kaca jendela dan melihat Dinda berlari menghampiri mobil. Aku sudah berpamitan padanya—suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Aku harus memaksakan diri untuk melangkah pergi dan meninggalkan Dinda. Ini bukan perpisahan, aku hanya pergi untuk sementara. Berkali-kali aku menanamkan kebenaran tersebut di dalam benakku.
Dinda membuka pintu dan naik ke jok di sebelahku. "Aku ikut ke Jakarta."
"What?" Apa aku tidak salah dengar?
Sama sepertiku, Dinda juga keberatan melepasku pergi. Dia ingin ikut, tapi baktinya pada Ibu membuatnya bertahan di sini.
"Aku ikut ke mana pun kamu pergi," ujarnya lagi.
Aku hanya bisa menatap Dinda dengan berjuta pertanyaan yang sulit keluar dari mulutku.
Dinda tertawa kecil saat menyadari kebingunganku. "Ibu enggak masalah ditinggal sendiri. Ada Bu De, tetangga-tetangga juga bisa dipercaya untuk menemani Ibu." Dinda meraih tanganku dan menggenggamnya. "Sementara itu, kamu sendiri. Aku enggak mungkin melepasmu menghadapi semua orang di Jakarta sendirian."
Tanpa terasa, aku menghela napas panjang. Ternyata sejak tadi aku menahan napas. Aku mengerti jika Dinda lebih memilih untuk menemani Ibu, aku tidak bisa memungkiri betapa bahagianya ketika Dinda memutuskan ikut denganku.
Karena, aku membutuhkannya.
"Let's go home," ujar Dinda.
Dinda memberikan pemahaman baru kepadaku. Bahwa rumah bukan sekadar tempat tinggal. Rumah bisa berwujud banyak hal. Dalam hidupku, rumah adalah Dinda. Dirinyalah tempatku pulang. Bagiku, dia rumah yang menungguku dengan segala kehangatan yang dimilikinya.
Jadi, di mana pun Dinda berada, di situ rumahku berada.
***
Aku masih ingat saat kali pertama membawa Dinda memasuki apartemen ini. Aku mengajak Dinda tinggal di sini semata hanya untuk menolongnya. Aku belum menyadari perasaanku kepadanya. Aku masih bersikeras menganggap Dinda sebagai adik. Sudah tanggung jawabku melindungi Dinda, termasuk memberikan tempat tinggal.
Ada banyak cerita terjadi di apartemen ini. Di sini juga kali pertama aku menyadari betapa aku mencintai Dinda.
Aku mendorong Dinda hingga bersandar ke pintu. Meski lelah akibat menempuh perjalanan panjang, aku bisa merasakan dorongan gejolak yang susah payah ditahannya.
"Kamu enggak capek, Mas?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Kamu?"
Dinda mendorongku sambil tersenyum. Sebuah senyum simpul yang sangat mengundang. Aku tak ubahnya seperti binatang liar yang menatap mangsa, tidak bisa mengendalikan hawa nafsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)
RomansaSeumur hidup, Adinda selalu jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Namun, Adinda yakin Arlan adalah laki-laki yang pas untuknya. Namun, Adinda belum pernah pacaran tidak tahu cara mendekati Arlan. Dipecat dan diusir dari kost, Adinda menumpang dj ap...