01. Suntik Move On

163 22 5
                                    

Avella tidak tahu apa yang telah terjadi. Saat terbangun dia melihat jarum infus sudah terpasang pada pergelangan tangannya. Dress selututnya telah terganti dengan piama khas pasien rumah sakit. Kemudian, bagian kecil otaknya yang berperan penting mengingat informasi mulai aktif bekerja. Mengumpulkan potongan demi potongan ingatan sebelum dia mengungsi ke rumah pesakitan ini.

Avella mengerjap. Mulutnya spontan terbuka lebar dan nyaris berteriak. Kali terakhir dia sedang berduka atas berakhirnya hubungannya dengan Albi. Lalu hujan turun seakan turut bersedih, tapi sebenarnya ia sedang mengejek. Hal terakhir yang dia ingat seseorang datang.

“Terus gue pingsan gitu?” Avella bertanya. Tidak kepada jam dinding yang terus berdetak, atau deru mesin air conditioner di dalam ruangan. Dia hanya—terlalu syok hingga berbicara pada dirinya sendiri.

Wait—jika dia benar pingsan, lalu apa yang terjadi setelahnya? Ingatlah apa yang ingin diingat. Lupakan apa yang ingin dilupakan. Memang otaknya didesain blangsak. Ketika Avella ingin mengingat sesuatu, sumber informasi itu justru enggan bekerjasama.

Avella mendesah pendek. Baiklah, dia akan menyerah sementara. Lebih baik mengisi energi sebab penghuni di dalam perutnya sudah meraung-raung ingin dinafkahi—Omong-omong, berapa lama dirinya pingsan? Dia pun bergidig ngeri, tak ingin mengetahuinya.

Susah payah Avella bangun. Menumpuk beberapa bantal agar posisi duduknya jadi lebih nyaman. Mata kecilnya menjelajah setiap sudut ruangan. Mencari di mana harta karun yang dibutuhkannya sekarang. Sekotak brownies, sekeranjang buah apel dan jeruk, serta sebungkus biscuit tersusun rapi di meja dekat brankar. Sudut bibirnya terangkat senang sang Mama begitu peka tentang dirinya.

Avella lantas mengambil sekotak brownies yang lebih mudah dijangkau. Memakannya dengan lahap membuat matanya berbinar bahagia. Krisis 98 yang beberapa menit lalu menimpa warga perutnya berangsur-angsur teratasi. Lagi dan lagi—Avella mengambil potongan brownies sampai dia sendiri tidak tahu sudah habis berapa slice.

“Mama emang yang terbaik!” puji Avella tersenyum senang. Namun, senyumnya hilang seperti sinyal three di pegunungan begitu melihat ke sebrang brankar. Eveline tertidur dalam posisi duduk dengan laptop yang masih menyala. Beberapa berkas tercecer di bawah sofa.

Avella berhenti mengunyah, yang kemudian menghela napas berat. Semakin merasa bersalah melihat raut wajah Eveline yang kelelahan. Sebagai orang tua tunggal, Eveline pasti kesulitan membagi waktu antara menyelesaikan tugas kantor dengan menunggunya opname. Alasan dibalik keberadaannya di rumah sakit membuatnya ingin menembak mati dirinya sendiri. Jatuh sakit karena diputus pacar. Ha ha ha, konyol sekali.

Pandangannya turun ke bawah pada sekotak brownies di pangkuannya. Dia tertawa tanpa suara, lantas menampar pipinya berkali-kali. Sadarlah Avella. Kamu ini sedang patah hati. Bisa-bisanya kamu makan dengan segenap hati.

***

Avella menahan napas kala melihat feed intagram Albi. Tidak ada satu pun jejak foto mereka di sana. Pemuda itu pasti telah menghapusnya.

Pertanyaan demi pertanyaan hilir mudik dalam tempurung kepalanya. Kenapa harus terburu-buru? Adakah gadis yang sedang Albi dekati, hingga seniat itu menyingkirkan jejak dirinya? Tidak bisakah Albi memberinya kompromi? Setidaknya, demi kenangan yang pernah mereka ciptakan bersama. Mereka pernah saling mencintai dan merindu. Memakan makanan di piring yang sama serta berbagi minuman.

Sayangnya, Avella lupa bahwa tidak ada kompromi dalam cinta. Jika Avella berani memberi sebanyak itu, artinya dia sepakat untuk kehilangan seluruh amunisi yang dia punya. Kemarin dia begitu penting, hari ini menjadi asing. Semudah itulah Tuhan membolak-balikkan hati manusia.

KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang