11. What is Love

50 9 1
                                    

Ada banyak buku yang menggambarkan tentang cinta, bahkan sampai mendewakannya. Cinta bisa menjadi kuatmu katanya. Cinta bisa menjadi alasan seseorang untuk terus hidup—Omong kosong!

Jika cinta bisa menjadi alasan seseorang untuk hidup, lantas mengapa Romeo meminum racun untuk mengakhiri hidup? Tidak hanya itu. Kesengsaraan ditinggal mati oleh Romeo, kemudian membuat Juliet nekat menyusul sang pujaan hati. Lantas, inikah yang dimaksud cinta menjadi kuatmu?

Daripada mendewakan cinta, bagi Albi Alvarendra cinta seperti siang dan malam. Tak selamanya cinta menghangatkan. Ada kalanya dia akan berubah dingin. Sesekali cahaya matahari tak mampu menembus pekatnya mendung yang menaungi. Namun bukan berarti, siang tak akan pernah kembali bukan? Manusia hanya perlu terbiasa dengan fase tak menyenangkan.

"Cinta boleh, logika juga dipake." Begitu lah pola pikir seorang Albi Alvarendra. Tak heran jika dia nekat mengakhiri hubungan yang sudah terjalin empat tahun. Lamanya waktu tak jadi alasan untuk Albi mempertahankan hubungan. Jika cinta membuat keduanya saling menyakiti, kebahagiaan hanya sebatas fatamorgana.

Omong-omong soal saling menyakiti, ada yang sedang kalut dalam kesedihan. Sepupunya, Jojo tampak tak bersemangat. Pagi-pagi sekali Jojo sudah bertandang ke rumahnya. Penampilan Jojo sungguh kacau, wajahnya tampak kusut seperti dia habis begadang. Kini sedang menopang dagu sambil melihat hujan di balkon rumah Albi. Jojo galau.

"Gue ngga ada maksud bohong, Al," Jojo memulai sesi curhatnya. "Gue cuma menunggu waktu yang tepat buat bilang."

Albi diam, masih menyimak.

"Tapi Nirbita keburu cek hp gue dan baca email-nya. Dia marah-marah ke gue tanpa tanya cerita utuhnya kayak gimana. Gue sakit hati anjing! Emosi lah gue sampe kita akhirnya ribut."

"Tadi pagi gue udah ngalah, tetep jemput dia kayak biasanya. Eh, dia masih saja ungkit masalah semalem. Gue capek sama dramanya dia, Nyet!" Jojo mengayunkan pandangan. Netranya kini menatap Albi yang sedari tadi mendengarkan. "Menurut lo, gue harus gimana?"

Baru lah pemuda itu angkat bicara. "Putusin saja!" katanya dengan pembawaan khas Albi Alvarendra yang santai. Membuat Jojo praktis mendelik tidak setuju.

"Gue udah pacaran sama dia lama setan! Sembarangan lo nyuruh putus!"

"Nirbita ngga bisa menerima impian lo, dan lo ngga bisa merelakan impian lo. Tinggal lo pilih mana yang lebih penting—Banyak yang udah pacaran sampai sepuluh tahun ujung-ujungnya putus juga, yang seminggu lagi mau nikah ternyata gagal."

"Engga segampang itu!" Jojo masih bersikeras.

"Memang, kalau gampang namanya bukan pilihan."

Jojo merapatkan bibir. Memandang gemas Albi yang seenak udel menyuruhnya putus. Albi kalau sudah putus, ngga usahlah ngajak-ngajak Jojo ikutan putus juga. Kasus mereka jelas beda. Albi sudah tidak cinta, sedangkan Jojo sebaliknya. Justru cintanya kepada Nirbita teramat besar sampai dia rela berkorban selama ini.

"Lo mah ngga ngerti posisi gue, Al."

"Lo nanya, gue jawab."

Albi Alvarendra memang begitu. Tidak bisa berbasa-basi untuk sekadar menghibur. Jika dimintai saran, maka dia akan menyuarakan pendapatnya. Perkara diterima atau tidak, bukan lagi urusannya. Selebihnya, dia akan lebih banyak diam dan menjadi pendengar. Serasional itulah pemikiran seorang Albi Alvarendra.

"Cara kerja otak lo gini ya pas putusin Avella?"

Albi mengedikkan bahu. Masa bodoh dengan cibiran sepupunya tersebut. Albi tak harus membela diri, karena dia memang tak butuh validasi orang lain atas keputusannya—Oh, benar, yang Albi butuhkan saat ini adalah penjelasan Avella. Jawaban tentang bagaimana Avella memaknai cinta, tampaknya tak cukup menjawab rasa keingin tahuannya.

Albi pun diam-diam tersenyum masam. Mengejek dirinya sendiri yang seakan buta tentang mantan kekasihnya tersebut. Kebersamaan yang terjalin empat tahun terasa sia-sia, kala dia tak mampu menyelami hati seorang Avella Linca Angjesta.

Albi Alvarendra bertekad, kali ini dia benar-benar akan mengakhirinya. Avella harus berhenti mengusik hidupnya, termasuk kehidupan asmaranya yang baru.

***

Avella bukan kpopers. Dia juga bukan pecinta drama korea. Avella hanya—tak sengaja mendengarkan lagu Boyband kenamaan YG Entertainment, yaitu Ikon. Musik beraliran hip hop itu sukses menarik atensinya. Avella seperti menemukan cara self healing yang baru. Hati dan pikirannya jadi lebih tenang setelah mendengarkan musik dengan beat cepat dan keras.

Avella tidak berusaha mencari tahu makna dari lagu yang dia dengarkan. Tak peduli jika lagu itu ternyata mengandung makna kesedihan. Lantas, dia mengekspresikannya dengan perasaan bahagia. Terkadang, kamu hanya perlu mendengarkan, jika dengan memahami hanya akan membuat hatimu semakin terluka.

"Lo ikonik juga, Ve?"

Tanpa permisi, Nirbita mengambil tempat kosong di sebelah Avella. Kelas Statistik baru saja dibatalkan. Avella dan Nirbita adalah dua mahasiswa yang ketinggalan informasi tersebut. Tak ada pilihan selain menunggu, sebab hujan deras sedang mengguyur langit ibukota. Avella benci hujan. Maka dia putuskan mendengarkan musik sekencang mungkin menggunakan headset. Tubuhnya terlalu malas bergerak untuk mencari teman. Dia pun memilih tiduran di kelas sendirian. Hingga Nirbita datang dengan mata sembab.

"Gue suka banget sama lagu ini." Suaranya terdengar parau. Sepertinya gadis itu baru saja menangis.

Avella melepaskan headset. Wow, dia baru sadar kalau volume musiknya terlalu kencang, sampai bisa didengar dengan jelas tanpa bantuan headset. Setelah mematikan musik, seluruh atensinya dia curahkan pada Nirbita. Avella yakin tujuan Nirbita ke kelas yaitu untuk mencari dirinya.

"Artinya deep banget," lanjut Nirbita.

Dan seperti biasa, Avella akan menjadi pendengar setia. Ikut berempati kala Nirbita dengan mata berkaca-kaca meluapkan kesedihannya. Lagu itu seakan sedang mewakili perasaannya saat ini. Hubungan yang mulai diwarnai kecurigaan tak berujung. Ada perasaan ingin berhenti dan menyerah, sebab kenangan indah itu dalam sekejap disulap menjadi ingatan yang menyakitkan.

Lirik yang bermakna 'Aku mencintaimu tidak untuk putus denganmu' membuat Nirbita menangis tersedu-sedu. Sungguh, Nirbita amat mencintai Jojo melebihi rasa cinta pada dirinya sendiri. Nirbita tidak tahu apa yang akan dilakukannya, jika Jojo tidak lagi di sisinya.

Tentu saja sebagai sahabat, Avella menjawab dengan penuh kehati-hatian, "Cinta dan patah hati akan selalu berjalan berdampingan, Bi. Orang yang buat lo bahagia adalah yang paling berpotensi buat lo terluka dan menangis."

"Terus gue harus gimana, Ve?"

Avella menarik Nirbita ke dalam pelukannya. Membiarkan sahabatnya itu meluapkan kesedihan dengan menangis. Jujur, Avella pun tidak tahu. Dia sendiri masih mencari obat dari patah hati yang ditimbulkan dari cinta yang teramat besar. Walau untuk kasus sahabatnya ini, dia yakin everything gonna be okay. Nirbita Nalguni memang seperti itu. Saat sedang bertengkar dengan Jojo, dia merasa hubungannya benar-benar akan berakhir.

Layar handphone Avella menyala. Menampilkan pop up message dari Albi. Benda pintar itu memang masih dibiarkan di meja. Membuat Nirbita tak sengaja ikut membaca pesan tersebut.

Albi : Let's talk

Spontan tubuh Nirbita menegak kaget. Teringat kembali bagaimana dia dan Jojo tertangkap basah oleh Albi.

Apakah Albi akan melabrak Avella? Prasangka buruk itu seketika menyingkirkan kegalauan-kegalaun tentang hubungannya dengan Jojo. Nirbita takut, jika Avella akan terluka akibat kecerobohan dirinya dengan sang pacar—mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan pacar.

Shit! Memikirkan itu membuat hati Nirbita tercubit nyeri.

KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang