07. Gadis yang Diandalkan

65 11 6
                                    

Hanya butuh satu hembusan angin yang tepat untuk menjatuhkan daun ke bumi. Mungkin itulah yang dibutuhkan Avella saat ini untuk membujuk Daniel, agar dia mau menjadi bintang tamu di podcast Smupie. Disaat seperti inilah kemampuan public speaking-nya sangat diperlukan.

"Dan—"

"Sorry, Ve, gue ngga bisa!" Daniel bukan cenayang, tapi dia mampu membaca pikiran Avella dengan tepat. Tanpa membiarkan Avella menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu dengan tegas menolak.

"Alasannya?"

Ya, Avella butuh alasan yang logis. Dia hanya diberitahu kalau Daniel membatalkan secara sepihak. Untuk seseorang yang benci ketidakjelasan, Avella tentu tidak akan menerima begitu saja. Di dunia ini tidak ada yang pasti—Oh, maaf saja, hal itu tidak berlaku untuk Avella. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti memiliki alasan. Jika hari ini kita tidak menemukan jawabannya, mungkin besok atau beberapa jam kemudian. Semuanya selalu kembali pada waktu.

"Cewek gue mendadak berubah pikiran. Dia ngga suka gue tampil di podcast lo."

"Me?" Avella menunjuk dirinya sendiri dengan mata melebar kaget. "What's wrong with me?" Beberapa detik kemudian dia mengumpat. Baru saja disadarkan tentang sejarah dirinya dengan Daniel yang pernah dekat, sebelum akhirnya dia melabuhkan hati pada seorang Albi Alvarendra.

"Chia takut kalau hubungan kita belum benar-benar selesai. Apa sih istilahnya?"

"CLBK—Cinta Lama Belum Kelar."

Daniel mengangguk diiringi dengan senyum kecil. "Yes, that's it!" Sesaat Daniel membasahi bibirnya, lalu kembali berucap, "Sebelum jadian, Chia itu sahabat gue. Dia lebih banyak tahu tentang kita dari yang lo pikir. Wajar setelah denger lo putus sama Albi, Chia jadi lebih posesif."

Avella diam. Masih mencerna ucapan Daniel barusan.

"Lo boleh ngatain gue bucin—"

"No prob, ngga ada yang salah sama bucin kok ...," dengan cepat Avella menjawab, "selagi kalian berdua nyaman," lanjutnya yang mendadak teringat dengan salah satu sahabatnya.

Avella tidak mungkin lupa kalimat yang sering diucapkan oleh Jojo. "Bucin itu enak kalau lo membucinkan orang yang tepat, Ve." Si tampan Jojo begitu bangga memamerkan kebucinannya. Seolah bucin itu sendiri bukan lah aib, apalagi sesuatu hal negatif seperti kebanyakan orang menilai.

Awalnya, Avella tidak begitu paham. Bucin dikendalikan oleh rasa sayang yang berlebihan. Bagaimana bisa sesuatu yang berlebihan disandingkan dengan kata tepat. Jika demikian, tolok ukur orang yang tepat itu seperti apa? Seperti Nirbita kah? Sebab, semua orang tahu bahwa Jojo sedang menjalin kasih dengan Nirbita.

Seratus milyar sel saraf dalam otaknya mulai mencari tahu. Keistimewaan apa yang dimiliki oleh seorang Nirbita Nalguni. Saat itu yang terlintas dibenak Avella hanya satu—perlakuan posesif Nirbita kepada Jojo. Dari mulai wajib memberi kabar, sampai melaporkan setiap kegiatan Jojo kepada Nirbita. Lantas, apakah posesif merupakan syarat bucin pada orang yang tepat?

Tentu tidak begitu. Dalam psikologi ternyata posesif tidak selalu mengerucut pada hal yang negatif. Beberapa orang merasa nyaman di posesifkan, sebab trauma di masa kecil membuat mereka butuh adanya perhatian. Avella tidak bertanya lebih jauh, bagaimana masa lalu Jojo saat itu. At least, dia dapatkan konklusi dari rasa penasarannya. Selama posesif itu sendiri membuat keduanya bahagia, maka hubungan itu masih dapat dikatakan sehat. Jika keposesifan itu diterima dengan cara yang positif, bukan tidak mungkin tumbuh perasaan cinta yang sangat besar—atau orang-orang masa kini menyebutnya dengan bucin.

KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang