Udara malam ini cukup lembab. Gadis berwajah simetris yang punya aura lembut itu mengusapkan telapak tangan beberapa kali, lalu menempelkannya pada pipi. Dia tidak sadar kalau keberadaannya di dekat pintu keluar telah menarik perhatian banyak orang.
Irene Angelica memang punya aura kecantikan yang berbeda. Dia nggak perlu senyum dan bertingkah imut untuk memperlihatkan kecantikannya. Cukup berdiri diam saja sudah membuat lawan jenis menarik napas, tak terkecuali Pras.
Untuk beberapa saat Pras terdiam, mengamati wajah cantik yang kian menawan. Pras tidak mungkin lupa tentang cinta pertamanya. Meski penampilan Irene mengalami banyak perubahan. Blouse tosca dipadukan rok span pendek putih serta sling bag warna senada, rambut bergelombangnya digerai sempurna. Irene benar-benar memancarkan aura wanita karir.
Sudut bibir Pras melengkung bak bulan sabit. Senyum yang teramat lebar untuk sebuah sapaan pada sang mantan gebetan. Jujur saja, hati Pras berbunga-bunga kala pandangan Irene jatuh kepadanya, dan melemparkan senyum simpul. Ada perasaan bangga kala para buaya memandangnya dengan tatapan envy. Egonya melambung tinggi seakan berkata, "See, penampilan gue emang biasa, tapi bisa gandeng Cleopatranya Indonesia."
"Brengsek, udah ada pawangnya ternyata!"
Senyum Pras semakin mengembang mendengar salah satu umpatan pria yang baru saja dilewatinya. Pras pun semakin mempercepat langkah, lalu merangkul pundak Irene yang mendongak memandangnya dengan senyum terulas di bibir. Omong-omong, pemuda itu punya niat terselubung. Ingin menegaskan kepada seluruh pria di Gor Bulungan bahwa Irene adalah miliknya.
"Nunggu lama, ya?"
Irene menggeleng. "Ngga kok, santai aja," lalu melarikan pandangannya pada tangan Pras yang bertengger di pundaknya. "De, kamu belum mandi, 'kan?"
Pras segera tersadar bahwa badannya masih penuh dengan keringat, bahkan mungkin menguar bau yang tak sedap. Dengan segera dia menarik diri dan meminta maaf. Pras terlalu terbuai dalam suasana. Kedatangan Irene begitu tiba-tiba. Memunculkan satu persatu kenangan yang pernah mereka ciptakan bersama. Ditambah bagaimana para lelaki yang menatapnya penuh minat. Pernah merasakan kehilangan, membuat Pras tak ingin mengulang.
Ah, sial! Betapa bodoh tindakannya barusan. Kini isi kepala Prasasti dipenuhi oleh caci maki untuk dirinya sendiri. Kelewat malu, Pras pun ingin menembakkan pistol ke kepalanya sendiri.
"Hahaha becanda, De. Don't be serious, okay?" kalimat itu setidaknya berhasil mengurungkan niat Pras. Secara naluri tangannya bergerak mengacak rambut panjang Irene. Gemas sekali melihat Irene yang biasa terlihat kalem jadi seusil ini.
Visual yang selalu menampilkan kesan dingin itu sedang tertawa renyah—untuk dirinya, karena dirinya. Kata apalagi yang bisa mendefinisikan perasaannya saat ini selain bahagia.
Prasasti Mahendra—malam ini dia terbuai oleh cinta pertamanya, hingga tak menyadari ada sepasang mata yang menyorot tajam seakan siap untuk merealisasikan rencana Pras barusan—Menembak kepala dan menghancurkan isinya tanpa sisa.
"Prasasti bangsat!" maki gadis itu kelewat kesal.
***
Namanya juga mantan. Kehadirannya selalu punya damage membahayakan. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang memilih menutup rapat pintu. Tidak membiarkan orang di masa lalu itu kembali memporak-porandakan hati yang mulai tertata rapi. Namun, ada juga yang menerima dengan tangan terbuka. Lalu berdalih, 'Pamali menutup pintu silaturahmi' seperti Pras misalnya.
"Hilih, bilang aja masih ngarep. Dasar cowok jelek gagal move on!" Jelita berulangkali mencibir Pras, yang kedapatan kembali menjalin komunikasi dengan Irene.
Bukan berati Jelita setuju, apalagi nggak usaha. Sebagai adik, Jelita tentu ingin yang terbaik buat Abangnya. Jelita nggak mau, Pras diamuk Ibu dan Ayah karena menjual motor seperti dulu, hanya demi mengikuti gaya hidup hedonisme perempuan itu. Segala usaha sudah Jelita lakukan supaya Bang Pras—begitu lah orang-orang di rumah memanggil Pras, nggak jatuh ke lubang yang sama. Irene itu cuma memanfaatkan kepolosan Pras. Dibalik sikapnya yang kalem, perempuan itu sama sekali tidak tulus.
"Udah lah, Ming, jangan oleng. Setia itu mahal!" Jovan pun ikut menasehati sebagai sahabat, yang menjadi saksi betapa hancurnya hidup Prasasti saat bersama Irene dulu.
Memang dasar Pras nya saja yang bebal. Pemuda itu terlena oleh kenyamanan yang lama tidak dirasakannya lagi. Senyum Irene, sikap manja Irene, serta perhatian Irene membuat Pras lupa soal misinya menaklukan hati Avella. Di perjalanan, Pras justru singgah pada rumah yang sejatinya tidak layak huni. Atapnya sudah bocor, dindingnya sudah usang. Hanya tinggal menunggu waktu sampai bangunan itu benar-benar roboh.
Sayang seribu sayang, Pras sudah terbutakan.
Pras dan Irene melipir ke salah satu stand sepatu. Saat ini mereka sedang menikmati Selasa malam di salah satu Mall di Jakarta Selatan. Irene bilang sepatu olahraganya sudah hampir jebol. Sedangkan setiap Jumat di kantornya ada acara olahraga bersama. Irene tidak begitu mengerti tentang persepatuan olahraga. Itulah sebabnya, dia meminta Pras untuk menemaninya.
"Yang ini gimana menurutmu, De?" Irene menyodorkan sepatu berjenis warior hitam putih. Spontan saja Pras tertawa melihat ekspresi polos Irene.
"Ini mah lebih cocok buat sepatu sekolah, Kak," katanya menatap geli Irene. Gadis itu tersipu malu. Menggetok kepalanya berulangkali sambil merutuki kebodohannya.
Irene mengerjap, kaget Pras tiba-tiba menarik tangannya sekaligus menghentikan aksi menyakiti diri sendiri.
"Nanti kepalanya bolong," canda Pras sambil tersenyum, yang rupanya menular pada Irene. "Makasih."
Ternyata Pras masih seperhatian dulu. Peduli pada hal-hal kecil yang membuat perempuan merasa disayang. Sikap usilnya masih dalam batas wajar justru terkesan sopan. Bertahun-tahun kenal dengan Prasasti, Irene tidak pernah sekali pun diperlakukan senonoh. Cium kening saja Pras tak berani. Pras selalu memprioritaskan kenyamanannya. Jika saja pemuda itu lebih percaya pada dirinya sendiri, barangkali Irene mau mempertimbangkan pekerjaannya di Bogor.
"Jadi Kakak pilih yang mana nih?" Irene bertanya untuk mengalihkan pikirannya yang mulai melantur kemana-mana.
"Emm..., wait!"
Pras melarikan pandangan pada rak sepatu di sebelah kanannya. Deretan sepatu olahraga wanita berjejer rapi di sana. Pilihan Pras jatuh pada walking shoes dengan desain sporty nan catchy. Perpaduan putih dengan merah muda itu cocok sekali untuk Irene yang kerap tampil feminin. Bantalan dan hak sepatunya memiliki kualitas cukup baik. Sehingga Irene tidak akan cepat lelah saat berjalan.
"Ini aja, cuma dipake senam, 'kan?"
"Kok tahu?"
"Tahu lah, karyawan puskesmas deket rumah 'kan tiap Jumat ngadain senam bersama," jawaban Pras sukses membuat Irene tergelak. Posisi Irene sebagai Staf Akunting dan Perpajakan di salah satu Rumah Sakit Bogor. Namun, yang ada di pikiran Pras justru petugas kesehatan.
"Kakak bukan perawat atau bidan, De. Cuma kerjanya di Rumah Sakit," Irene mengoreksi lantas berjingjit dan menjubel pipi pemuda itu, yang hari ini bertingkah menggemaskan.
Pras tidak mengelak ataupun buru-buru minta dilepaskan. Lagi-lagi Pras masih menjadi orang yang sama. Pras miliknya yang penurut.
"Hehe, salah yah?"
Irene menatap gemas Pras. "Sini nunduk, biar Kakak acak rambutnya."
Deg
Perkataan Irene barusan seperti De Ja Vu. Gambaran gadis mungil yang lain berhasil melenyapkan senyum Pras tanpa sisa. Mendadak hatinya tercubit nyeri. Ada perasaan sesak yang menyesalkan. Perasaan bersalah, tapi enggan menyerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]
Chick-LitHanya karena satu kesalahan, Avella telah menenggelamkan kapal impiannya. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia hanyalah seonggok manusia hina yang tidak pantas mendapat berkah Tuhan, yaitu kebahagiaan. Lalu seseorang berkata, "Di Jepang ada tr...