20. Tekad yang Mulai Goyah

48 6 1
                                    

Terangkanlah ... jiwa yang berkabut ... langkah penuh dosa...

Pras terbangun begitu mendengar lantunan musik religi menggema di telinganya. Keadaan kamar yang gelap serta kesadarannya yang belum seutuhnya terkumpul, membuat Pras gelagapan. Hanya satu hal yang terlintas di benak Pras sekarang....

Malaikat Izrail jemput gue!

Dengan gegas Pras bangkit dari tidur. Duduk sinden dengan kedua tangan mengatup di depan.

"Ampun Mbah Izrail, jangan jemput gue dulu. Gue belum berani nembak Avella." Badannya gemetaran. Keringat sebesar biji jagung bergulir melewati pelipisnya. Berulang kali— Pras melakukan sujud memohonan ampunan.

Ya Alla biha ya Allah biha...

"Anjrit! Kayaknya malaikat Izrail sensi bener sama gue." Pras membatin dalam hati karena alih-alih mereda, suara itu semakin santer terdengar. Bahkan kini suara itu membawa nama Tuhan. Sadar ibadahnya masih sering bolong, mulutnya mulai meracau tidak jelas.

"Ya Allah tolong jangan diskon umur gue." Derit pintu terdengar kemudian. "Anjing! Malaikat Izrail kayaknya bawa pasukan ini. Ya Gusti, dosa gue kalau disedekahin aja ngga habis-habis."

"Lo kenapa, Bang?"

Setidaknya, suara familiar itu berhasil memutus fantasi Pras. Dengan segera Pras membuka mata. Namun, dengan cepat pula kelopak matanya menutup kembali. Masih belum siap dengan efek silau dari pencahayaan lampu di kamar.

Walau dengan mata tertutup, Pras cukup yakin kalau suara itu milik Jelita. "Jel, Abang dijemput Malaikat Izrail, tolongin Abang," lapornya kembali histeris. Memikirkan kehadiran Malaikat Izrail di kamar, membuatnya kembali dilanda ketakutan.

Begini 'kah rasanya menuju detik-detik kematian?

Spontan tawa menderai Jelita memenuhi seisi kamarnya. "Hahaha, ini alarm kali, Bang."

Lucu sekali, pikir Jelita melihat seluruh tubuh sang Abang gemetaran, yang kemudian mematikan alarm karena kelewat berisik. Jelita benar-benar heran dengan fungsi indera pendengarnya Pras. Dering alarm sekeras ini masih sulit untuk membangunkan Pras. Sebenarnya, telinga Pras itu masih berfungsi atau tidak, sih?

Lain halnya dengan Prasasti Mahendra yang sudah misuh-misuh. Mengutuk si tersangka yang sudah men-setting alarm di hp-nya dengan lagu religi. Bahkan Pras tidak sadar, kalau alarm itu sudah dipasang sejak insiden saltik di kamar Avella. Tampaknya praduga Jelita kali ini benar. Ada yang salah dengan telinga Pras.

"Siapa yang ganti alarm gue pakai lagu religi sih, Jel?" Kesal Pras sambil mengelus dadanya. Menenangkan debaran jantungnya yang sempat berpacu cepat.

"Ibu, katanya biar Bang Pras bangun. Kan Abang kalau dibangunin susah."

"Masha Allah, emak kita dulu pesantren di mana? Kok otaknya bisa ajaib gitu? Bukannya bangun yang ada Abang tertidur selamanya karena serangan jantung."

"Innalillahi Wainnailahi Raji'un."

"Heh, mulut!"

Jelita kembali tergelak. Senang sekali bisa menggoda sang kakak, karena sering kali dia lah yang menjadi korban.

"Bilang ke Ibu, Abang pasti bangun kalau dapet morning kiss dari Avella." Pras tidak dapat menahan senyum lebarnya kala teringat apa yang terjadi semalam. Melambungkan hati Pras yang dipenuhi bunga-bunga asmara. Sebelum Jelita menggeplak kepalanya. Melongsorkan senyum di bibir Pras serta suasana hatinya.

"Buruan shalat, malah senyum-senyum kayak orang mesum!"

"Jel, belum pernah wudhu keringat, 'kan?"

"Hmpft—" Jelita melotot dengan pandangan mengancam. Tangannya bergerak aktif memukul lengan kokoh yang mengunci pergerakannya. Bau Pras benar-benar sebusuk kentut.

KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang