Setelah berhari-hari mendung menaungi langit ibukota, akhirnya Avella dapat menikmati detik-detik matahari terbenam. Hamparan langit yang luas itu begitu serasi dengan warna oranye keemasan. Indah juga teramat singkat.
Melalui senja Avella dapat belajar bahwa tak ada keindahan yang berlangsung abadi. Begitu pun dengan kesedihan. Beberapa pekan dibekap luka dan kecewa, semesta mulai berbaik hati kepadanya. Perasaan lega serta bahagia berangsur-angsur memulihkan jiwanya yang sempat goyah. Ternyata memiliki support system seperti para sahabat serta Pras, amat membantu proses healing-nya. Tanpa mereka Avella tidak tahu akan seperti apa dirinya saat ini. Bisa jadi dia akan kembali terpuruk seperti sepuluh tahun lalu.
Avella tak ingin memikirkan lebih jauh tentang cinta pertamanya. Toh, orang itu pun tak pernah mengingat Avella sebagai pacar. Bagaimana dirinya dengan Pras pun, Avella putuskan untuk berpasrah diri. Dia hanya ingin fokus pada karir serta bagaimana membalas budi kepada orang-orang, yang telah berbaik hati kepadanya. Sesederhana itu.
"Ngapain gue masuk Psikologi ya, kalo gue sendiri masih bermasalah." Avella menggerutu usai mengecek nilai-nilai UTS-nya yang mengalami penurunan. Kelewat kesal dia pun memilih keluar dari web kampus.
"Ini ngga bisa dibiarin!" Lantas Avella mulai menulis serangkaian rencana-rencana untuk memperbaiki kemerosotan prestasinya. Nilai akademis berperan penting sebagai syarat seleksi. Rencana jangka panjang Avella yaitu kuliah S2 di Korea Selatan dengan jalur beasiswa. Itulah sebabnya, dia belajar mati-matian untuk menjaga nilainya tetap sempurna.
Avella dengan ambisinya. Sepertinya memang sulit untuk diubah.
"Nulis apaan? Surat wasiat?" sebuah suara mengalihkan atensi Avella. Avella mengayunkan pandangan, potret wajah Pras seketika tertangkap oleh retinanya. Ah, rupanya pemuda itu telah selesai melaksanakan shalat maghrib.
"Gue suruh tunggu di cafe deket Masjid juga, ngapain di sini? Dibawa kalong wewe baru nyaho sia!"
"Ngga usah sok sunda deh, Pras, ngga cocok!"
Dan alih-alih merasa tersinggung, Pras tertawa renyah. Tawa yang beberapa hari ini menarik atensi Avella.
"Pras kok ganteng ya?" ssuara malaikatnya dengan kurangajar memuji. Membuat Avella jadi segera menampar kepalanya sendiri.
"Lo kenapa dah?" tanya Pras terheran-heran, yang kemudian ikut duduk di kursi pantai. Menikmati deburan ombak dengan bau asin yang menenangkan. Sayang sekali, Pras harus segera ke masjid hingga dia tidak bisa ikut menyaksikan momen matahari terbenam.
"Ada nyamuk."
"Pakai sofel."
Avella tertawa lepas. Inilah yang membuat Avella nyaman berada di dekat Pras. Celotehan-celotehan spontan Pras, selalu berhasil menghibur dirinya—Oh, shit! Kali ini ada tamu tak diundang. Perasaan takut kalau Pras akan diambil orang.
"Lo mau langsung balik? Entaran dulu ya, tadi gue pesen seblak. Kayaknya bentar lagi nyampe," ucap Avella mencoba menepis perasaan aneh itu.
Di sampingnya, Pras membelalakan mata. "Anjir, orang mah gofood mekdi atau gacoan, Ve—" gemas Pras.
Lagi-lagi Avella tertawa.
"Gue lagi ngidam seblak, Pras, udah lama juga gue ngga makan seblak."
"Kotoran kucing ngapain dimakan sih?!"
"Dih! Sembarangan lo!"
Pras mengubah posisi duduknya. Menghadap Avella, lalu menatap Avella dengan raut serius. "Gue mau tanya, lo pilih bakso atau seblak?"
"Najis! itu mah bukan pilihan. Dua-duanya gue makan lah."
"Ngga bisa dong, harus pilih satu."
"Pemerintah saja menyarankan program dua lebih baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]
Chick-LitHanya karena satu kesalahan, Avella telah menenggelamkan kapal impiannya. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia hanyalah seonggok manusia hina yang tidak pantas mendapat berkah Tuhan, yaitu kebahagiaan. Lalu seseorang berkata, "Di Jepang ada tr...