Pengunduran diri bassist band indie Masquerade enam bulan sebelum penampilan mereka di festival musik Goldwing membuat Jovan, sang ketua, kehilangan arah dan semangat untuk maju. Terutama ketika dia bukan hanya kehilangan seorang anggota, melainkan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pasti habis nonton film baru," celetuk Farez seraya meletakkan nampan berisikan dua mangkuk bakso di atas meja. Dia menyerahkan satu mangkuk pada pemuda di seberangnya dan satu lagi untuk dirinya sendiri. "Lo nggak pernah kepikiran buat nulis buku puisi aja apa? Kayaknya lo lebih gampang dapet cuan kalo gitu. Nyokap lo mungkin bakal setuju."
Di atas meja depan Jovan adalah sebuah buku catatan dengan sampul berwarna merah yang sudah sedikit koyak. Wajar saja, buku tersebut sudah bersamanya sejak SMA, dan entah mengapa masih bertahan. Di dalamnya tersimpan semua lirik yang pernah ditulisnya. Menciptakan beberapa bait untuk merangkum sebuah film atau media yang baru saja dia konsumsi adalah caranya untuk melatih kerja otak. Itu telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging baginya.
Sebab makanan yang dipesan telah tiba, Jovan menutup buku catatannya dan memasukkannya ke dalam tas. Aroma sedap bakso yang masih panas dengan mudah membuat perutnya bergerutu.
"Mau apa pun itu kalo kerjanya cuma buat mengekspresikan diri dan menghibur orang, nyokap gue nggak akan setuju," ujar Jovan terus terang. Dia menghela napas lelah. "Kadang gue mikir, apa gue ketuker sama bayi lain, ya?"
Farez tertawa sembari mengaduk mangkuk baksonya. "Nggak bisalah. Lo kan sepaket sama Kak Rival!"
"Bukan sepaket. Lebih ke freebies sih guenya."
"Ngelawak mulu. Traumanya banyak ya, Pak?"
Testimoni Farez benar adanya karena bakso yang dicobanya kala itu memang benar-benar enak. Terletak di belakang bangunan kampus mereka, Jovan terus bertanya-tanya mengapa tempat itu baru buka sekarang. Jika sudah dari dulu, dia sudah pasti akan selalu makan di sana.
"Gue sama Noel kemarin ketemu Kak Haris di studio," ucap Farez, seluruh perhatian terpaku pada baksonya alih-alih Jovan yang duduk di depannya. "Dia mau ngambil barang dia yang ketinggalan. Dia nanyain lo."
Tangan Jovan sontak berhenti beraktivitas. Dia menatap Farez lurus. "Nanya apaan?"
Farez menengadah. "Um, kabar lo, dan kenapa lo nggak di Dryad hari itu."
"Baguslah gue nggak dateng kemarin."
"Lo masih kesel banget sama Kak Haris, ya?"
Sebenarnya, dia lebih marah pada dirinya sendiri. Haris adalah musisi yang sangat bertalenta. Justru aneh apabila dia harus tetap berada di band underground. Namun, mereka sudah begitu dekat untuk keluar dari gua. Dia yakin Haris akan segera mencicipi apa itu popularitas jika dia menetap sedikit lebih lama.
Lalu, La Route? Ya, itu adalah klimaksnya. Dari semua band yang ada, kenapa harus mereka? Apakah Haris lupa kecurangan apa yang telah band itu lakukan pada mereka?