13. Untold Truths (4)

277 41 5
                                    

• PART THREE •

—— Untold Truths ——

• ● | 4 | ● •

Purnama Jaya Highschool4 years ago

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Purnama Jaya Highschool
4 years ago

"JOVANDRA TIRTAYASA PUTRA!"

Kerasnya teguran tersebut dapat dengan mudah didengar oleh para murid dan staff yang berlalu lalang di depan ruang kepala sekolah. Anehnya, tidak ada satu pun di antara mereka yang cukup penasaran untuk menguping. Bagi mereka, ini adalah situasi yang lumrah. Ruang kepala sekolah sudah seperti rumah kedua bagi seorang siswa kelas 10 bernama Jovandra Tirtayasa Putra.

Sang kepala sekolah menghela napas lelah dan meremas pelipisnya sembari memejamkan mata. Entah siapa yang mengutuk dia dan sekolahnya untuk menerima Jovan sebagai murid mereka.

"Bisa nggak sih, kalo Bapak ngomong itu didengerin? Jangan asal potong ucapan saya! Pernah diajarin sopan santun nggak sih?!" geramnya, walau tidak sekeras sebelumnya karena sejujurnya suara dia sudah habis.

Jovan berdiri beberapa langkah di depan meja kerja kepala sekolahnya tersebut. Kedua tangan tenggelam di dalam saku celana seragamnya. Tidak ada yang lebih diinginkannya selain pergi keluar dari ruangan kepala sekolah dan berhenti mendengarkan pria itu mengoceh tentang hal yang sama: jangan melawan guru.

Dia akan senantiasa mengaplikasikan hal tersebut ke kehidupan nyata apabila guru yang dihadapinya bukanlah seorang perundung menyamar sebagai pengajar. Alasan mengapa Jovan bisa berakhir di ruang kepala sekolah adalah karena berdebat dengan guru PPKN-nya. Berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh guru PPKN, pria yang satu ini justru merendahkan murid-muridnya dan memberikan ilusi kebebasan berpendapat.

Selain itu, apa yang diajarkannya sangat bias dan tidak masuk akal.

"Menyebut murid yang seharusnya beliau ayomi 'bego' dan 'tolol' bukan sifat yang mencerminkan seorang guru," sahut Jovan sinis. "Kata-kata mengandung bobot, Pak."

"Cara ngajar setiap orang beda-beda, Jovan." Sang kepala sekolah menyandar pada kursinya dengan ekspresi wajah datar. "Mungkin kalian aja yang terlalu sensitif. Dunia luar nggak akan selembut itu."

Kedua alis Jovan bertaut tajam, memancarkan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja didengarnya. Sensitif, huh? Ini masih sekolah, bukan dunia luar.

Namun sebelum dia dapat berargumen lebih lanjut, sang kepala sekolah melambaikan tangannya acuh tak acuh. Dia menarik napas dalam dan berkata, "Saya nggak ada waktu berdebat dengan kamu lagi, Jovan; ini udah yang kelima kali selama seminggu. Kamu dihukum DAN ini peringatan terakhir. Bikin masalah lagi, kamu kena skorsing.

"Saya sebenarnya berharap lebih dari anak Bu Sara dan mendiang Pak Kenzo, tapi sepertinya cuma Rival yang memenuhi ekspektasi. Kamu harus mulai contoh kembaranmu."

MASQUERADE | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang