12. Untold Truths (3)

448 69 11
                                    

• ARC THREE •

—— Untold Truths ——

• ● | 3 | ● •

Kegelapan menyambut Jovan dari dalam apartemen setibanya dia di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kegelapan menyambut Jovan dari dalam apartemen setibanya dia di sana. Pemuda itu tidak memiliki niatan sedikit pun untuk menyalakan lampunya. Rasa nyeri hebat menguasai bahu dan punggungnya, seolah dia tengah menggendong sebuah karung berat tak kasat mata. Kepalanya berdenyut keras dan tampaknya akan meledak dalam hitungan detik.

Pintu menutup dan terkunci secara otomatis di belakangnya. Jovan berjalan menyusuri ruang tamu dan dapur untuk pergi ke kamar tidurnya. Di sanalah baru dia membiarkan cahaya lampu membasuh kamarnya, memberikan sensasi hangat dan familiar.

Dia dapat melihat gitar dan bassnya diletakkan dengan rapi di atas stand. Sebuah keyboard berdiri tepat di samping meja belajarnya, bersebelahan juga dengan pemutar piringan hitam yang Rival belikan untuknya pada ulang tahun mereka yang ke-17. Mereka saling bertukar kado. Jovan menghadiahkan kembarannya itu sebuah buku fisika yang telah dia damba-dambakan cukup lama.

Rival tidak akan ada di apartemen selama tiga hari ini, karena saudaranya menginap di rumah ibu mereka.

Keheningan yang memenuhi kamarnya itu benar-benar membuatnya sesak.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Jovan duduk di bangku meja belajar dan memperhatikan sebuah foto keluarga yang terpajang di sana. Foto tersebut terdiri atas dirinya, Rival dan orangtua mereka. Sang ayah masih hidup dan sehat.

"Kemungkinan besar kalo Ayah masih di sini pun Ayah juga nggak setuju dengan apa yang kulakuin," gumam Jovan, teringat akan apa yang pernah dia utarakan pada makan malam di rumah Sara. Dia mengusap wajahnya kasar, frustasi dengan dirinya sendiri. "Maaf... aku nggak bermaksud ngecewain kalian."

Barangkali dia saja yang terlalu keras kepala; barangkali dia memang sudah kehilangan akal sehatnya. Sara hanya ingin anaknya tidak bodoh, menjalani kehidupan yang layak sampai akhir hayat dan dihormati. Ibunya benar. Jovan sudah disekolahkan setinggi itu namun dia malah memfokuskan dirinya ke bidang lain yang terkesan jauh lebih remeh.

Selama ini Sara selalu melarangnya bermusik, tetapi baru saja tadi, ibunya mengaku bahwa dia sudah tidak mau lagi berurusan dengannya. Itu berarti sang ibu sudah tidak peduli lagi. Tali yang menghubungkan mereka sebagai ibu dan anak benar-benar terancam terputus.

"Gue harus apa coba...?" Jovan menghela napas panjang dan menyandar pada bangku. Matanya menatap pilu langit-langit kamar.

Membayangkan hidup tanpa musik membuat Jovan merinding ngeri. Menurutnya, jika dalam situasi hipotesis tersendiri, dia akan kehilangan segalanya; dia hanya berharap dia masih bisa menciptakan musik. Musik adalah penggerak hidupnya. Dia rela menderita untuk itu.

Jovan sadar dia egois, sebab dia ingin berkarya sebagai musisi seumur hidupnya. Dia bisa saja bermain musik hanya sebagai hobi sampingan dan menekuni bidang akademis sesuai kemauan ibunya. Dengan begitu, hubungan dia dan ibunya tidak perlu serenggang ini, dan... dia tidak perlu dicekik oleh rasa bersalah karena telah berani memberontak.

MASQUERADE | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang