Pengunduran diri bassist band indie Masquerade enam bulan sebelum penampilan mereka di festival musik Goldwing membuat Jovan, sang ketua, kehilangan arah dan semangat untuk maju. Terutama ketika dia bukan hanya kehilangan seorang anggota, melainkan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Graha Hospital 4 years ago
Jovan berlari melewati koridor berwarna putih itu dengan napas terengah-engah dan mata yang sembab. Jantungnya berdegup begitu cepat. Air matanya terus mengucur keluar. Bahkan dari perjalanan ke sana pun dia sudah tidak kuat lagi menahannya.
Begitu dia tiba di satu lorong yang menjadi destinasinya, isakan tangis yang jauh lebih keras menyeruak. Beberapa langkah di depannya, Rival berdiri memeluk ibu mereka yang menjadi sumber dari tangisan menyayat tersebut. Dia tidak pernah melihat ibunya serapuh itu. Rasanya nyaris seperti mimpi. Kembarannya menepuk-nepuk lembut punggung ibunya, berusaha menenangkannya.
Jovan merasa kakinya kehilangan fungsinya untuk berjalan karena sekujur tubuhnya terasa lemah. Dadanya sakit sekali sampai bernapas pun terasa sesak. Dia benci betapa nyata rasa perih yang dia rasakan, karena itu berarti dia tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar terjadi.
Rival melepas pelukan ibunya dan ujung matanya menangkap kehadiran Jovan di rumah sakit tersebut, berdiri mematung. Kini ketika mereka saling menatap satu sama lain, barulah Jovan menyaksikan betapa merah mata kembarannya itu. Melihatnya menangis seperti itu membuat sisa pertahanan yang membantunya tetap waras runtuh seketika.
Tangis kembali pecah. Jovan menutup mata sembabnya dengan lengannya; napas terputus-putus.
Tak lama kemudian, sepasang lengan melingkari tubuhnya, merengkuhnya. Dari aromanya saja, Jovan dapat mengenali sang ibu. Khususnya mereka berdua; Jovan dan ibunya nyaris tidak pernah berpelukan. Jangankan itu, berkontak fisik saja jarang sekali. Namun sekarang... sekarang Jovan hanya ingin berada di pelukan itu selama mungkin. Sara juga sepertinya merasakan hal yang sama.
"Ayah nggak bener-bener pergi, kan?" Jovan berkata di sela-sela tangisannya. "Bunda, tolong bilang Ayah nggak pergi. Bunda, please..."
Sara tidak kuasa menjawab, dan Jovan tidak bisa menyalahkannya. Keduanya melepas pelukan mereka karena Sara terpaksa harus mengurus banyak hal. Wanita itu harus tetap tegar meskipun suaminya baru saja meninggal. Jovan tidak yakin dia bisa seperti itu. Dia seolah diserap secara utuh oleh lautan duka yang sangat dalam dan gelap tanpa meninggalkan celah untuk setitik cahaya.
Kaki Jovan akhirnya menyerah dan dia jatuh di atas kursi tunggu. Tenggorokan dan matanya perih. Kepalanya pusing. Air mata pun tidak kunjung berhenti seperti arus sungai.
"Gue nggak seharusnya keluar, Val," isaknya. Kedua telapak tangannya mengepal. Dia menggeleng tak terima. "Gue seharusnya di sini... Gue seharusnya..."
Rival duduk di samping kembarannya itu dan mengusap lembut punggungnya, sebuah gestur menenangkan yang dia lakukan juga pada ibu mereka. "Itu nggak akan ubah apa-apa, Jov... Ayah... Ayah emang udah sakit banget..."