Keraguan

41 6 0
                                    


 meminta bertemu, tidak ada informasi yang didapat lagi dari Adelya. Kejadian ini terasa semakin membingungkan. Jikalau ia menemui Adelya dan mereka bertemu dengan Citra, keadaan akan semakin memburuk.

"Saya mesti datang, Ton?"

"Kalau gue jadi lo sih, gue bakalan datang. Salah satu alasan lo gagal move on dari Adelya karena nggak ada closure dari dia. Dia yang salah ke lo. Bisa jadi dia mau minta maaf secara langsung karena selama ini juga lo dibiarkan sendiri, tanpa ada permintaan maaf. Seenggaknya lo layak mendapatkan permintaan maaf."

"Kalau Citra tau gimana?"

"Seenggaknya kalian bakal ketemu. Kalian bisa obrolin lagi. Tapi lo harus siap sama konsekuensinya. Paling kena tampar."

"Nggak mau, dong. Saya kan sayang sama Citra. Masa saya bikin dia sakit hati?"

"Ya balik lagi ke lo sih. Lagian ketemunya di mana? Di tempat kalian ketemu kemarin bukan? Kalau iya, bisa jadi kalian bakal pas-pasan sama Citra."

"Nggak, sih. Tempo hari kan ketemu di kafe Hotel St. Paris. Sekarang ketemuannya di kafe di Jaksel."

"Yah, aman lah. Seenggaknya jauh dari hotel. Yaudah ketemu aja."

Garvi mengangguk. Meskipun sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengan Adelya, jantungnya berdegup dengan kencang. Bukan karena ia gugup di hadapan mantan pacarnya. Tapi ia lebih takut jika mereka berpapasan dengan Citra. Tentu Garvi bisa menjelaskan segalanya, dan ia juga punya firasat ini bukan tentang Adelya meminta balikan atau kebalikannya. Tapi ini bisa jadi hal lain. Dari nada bicaranya di telepon barusan pun tidak ada nada memelas atau seperti saat dulu mereka pacaran dan Adelya meminta bertemu untuk kencan.

Sepanjang perjalanan, Garvi melamun. Tidak hanya pertemuannya dengan Adelya sebentar lagi. Tapi ia juga berpikir keras mengapa Citra menyuruhnya pergi saat itu. Ia bertanya-tanya apakah memang salah mengakui perasaannya dan berciuman dengan Citra? Kalau memang salah, mengapa Citra menciumnya duluan? Kalau memang salah, mengapa tidak sedari awal Citra menyudahi kencan mereka? Yang pasti, Garvi tidak tahu kebenarannya.

Saat sampai di tujuan, Garvi melihat dari jendela luar dan Adelya sudah ada di dalam. Ia sendirian di sana. Garvi menghampirinya dengan segala pertanyaan tentang pertemuan itu.

"Aku akan langsung ke intinya aja, Vi." Adelya memulai. "Aku udah nggak kuat dengan hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar kesepian dan kamu nggak ada di sisiku. Lalu ada teman kantor yang terbuka sama aku, dia jadi tempatku curhat. Lama-lama kami jadi dekat."

Garvi mengangkat tangannya. Menandakan untuk berhenti. "Kalau kamu mau cerita tentang bagaimana kamu bertemu dengan laki-laki yang namanya Wisnu itu dan saling suka, saya lebih baik pergi aja. Saya nggak butuh informasi seperti itu," Garvi mulai berdiri dari kursinya.

"Tunggu, Vi. Bukan itu." Adelya menahannya. "Aku cuma mau bilang walaupun aku selingkuh, nggak satu hari pun aku merasa bersalah. Kamu nggak pernah punya niatan untuk berpaling dari aku. Jujur, kamu adalah laki-laki yang baik. Kalau saja kondisinya berbeda, mungkin kita nggak akan begini. Tapi memang aku nggak kuat menanggung beban yang kamu punya. Jadi aku mau minta maaf."

"Permintaan maafmu nggak saya terima."

Adelya menundukkan kepalanya. "Aku tahu aku nggak pantas dimaafkan–"

"Memang nggak," potong Garvi. "Tapi saya nggak peduli dengan itu lagi. Ada hal yang jauh lebih penting yang saya pikirkan. Perempuan yang lebih baik dari kamu."

Adelya mengangkat wajahnya. "Perempuan yang tempo hari, kah, Vi?"

"Kalau iya kenapa?" Apakah kamu cemburu?

Garvi Hinggap di BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang