Garvi mengajak Citra pergi ke sebuah tempat dengan menutupi matanya menggunakan kain. Sudah sekitar setengah jam berlalu dari kafe di rumah Citra. Hari itu adalah hari ulang tahunnya. Garvi ingin memberikan kado yang sangat spesial, oleh karenanya ia menyiapkan kejutan indah untuk perempuan yang ia cintai.
"Aku diculik ke mana ini, pak?"
"Nggak diculik kok, bu. Saya ini orang baik."
"Beneran, nih?"
"Kalau pun nggak, saya culik ibu sebentar saja. Nggak lama, kok."
"Tapi rasanya nggak sampai-sampai. Kita masih di mobil, nih."
"Bentar lagi, kok." Garvi meraih tangan Citra dan mengusapnya. Setelah sampai, ia menuntun Citra keluar dari mobil agar tidak terjatuh. Mereka berdua kemudian berjalan. Garvi menuntun Citra dari depan.
"Sebentar, dan boleh buka mata."
Citra melihat di sekitarnya adalah sebuah rumah yang tidak besar, tidak kecil pula. Mirip dengan rumah pertamanya di Jakarta Pusat. Hanya saja bedanya ada kesan-kesan yang indah. Halaman di sekitarnya kotor dan tidak terawat. Meski berantakan, mata Citra berbinar-binar.
"Kamu pasti sudah tahu dengan posisi taman yang begini luasnya, kamu bisa menumbuhkan berbagai macam bunga. Saya juga mau ikut nanam bunga sama kamu. Kita mulai kehidupan kita yang baru ini sama-sama," Garvi merangkul Citra. "Oh iya. Saya sengaja belum merapikannya supaya kita bisa bersihkan bareng-bareng sambil membicarakan layout pernikahan kita di sini? Kamu mau pernikahan kita privat kan? Saya juga begitu."
"Ini hadiah ulang tahun terindah, Vi. Aku benar-benar bahagia. Makasih banyak, ya."
Garvi menganggukkan kepalanya. Mereka berdua saling berbagi pandang kemudian melihat rumah masa depan mereka sambil tersenyum lebar.
Beberapa bulan telah berlalu dan taman rumah mereka kini sudah rapi, dipenuhi oleh hiasan pernikahan. Ada banyak bunga-bunga yang melambangkan cinta. Bunga-bunga kesukaan Citra menambah keindahan halaman belakang yang luas.
Orang-orang yang mereka undang sudah hadir, sebelum akad dimulai. Dari pihak Garvi hanya ada dua orang. Toni dan ayahnya. Sedangkan dari pihak Citra, ia mengundang beberapa temannya dan ibu Lilis, penjaga toko bunga Lili's.
Begitu akad berjalan sesuai rencana dan pengantin bersalam-salaman dengan tamu, ibu Lilis berulang kali memeluk Citra sambil menangis. "Anak ibu, anak ibu."
"Ayu cantik nggak, bu?"
"Geulis. Cantik sekali."
"Ibu sering-sering, ya main ke sini. Nanti aku juga main ke ibu."
"Pasti atuh, neng." Bu Lilis mengusap pipi Citra berulang-ulang kali. Kemudian ia beralih ke Garvi. "Aa, punten inimah. Tolong jaga neng Ayu. Dia kayak anak sayah sendiri. Kalau kenapa-kenapa haduh. Sedih sayah."
Garvi mengangguk. Ia juga memeluk bu Lilis dengan erat. "Pasti, bu. Akan saya jaga Citra dengan sepenuh jiwa."
Hari itu dipenuhi oleh canda dan tawa serta wajah-wajah yang terlihat cerah. Garvi dan Citra saling berbagi cerita kepada para tamu undangan. Mereka semua tertawa lepas mendengar bagaimana Garvi begitu polos saat kencan pertamanya dengan Citra. Air mata yang muncul di ujung kelopak adalah buah dari tawa yang tidak ada hentinya. Memulai kehidupan baru ternyata terasa begitu indah dan menyenangkan.
Beruntung Garvi dan Citra saling setuju untuk melakukan pernikahan intim. Mereka bisa bercanda gurau seharian penuh tanpa merasa kelelahan. Sampai sore cerita-cerita tidak ada habisnya. Sampai-sampai masing-masing tamu undangan merasa suaranya serak saking semangatnya bercerita dan tertawa hingga terpingkal-pingkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garvi Hinggap di Bulan
Romance"Jadi laki-laki harus kuat, Vi. Nggak apa-apa nangis, tapi kamu harus tahan, ya. Kamu juga harus tahu, kalau kamu bukan sebuah kesalahan." Suara Arunika bergetar. Itulah pesan almarhumah Arunika 20 tahun lalu kepada Garvi kecil. Kini saat ia sudah d...