Sudah beberapa kali Garvi pergi ke lapas untuk melihat ibunya. Tetapi ia tidak tahu harus melakukan apa. Setiap kali datang, Garvi hanya bertanya kepada petugas apakah ibunya baik-baik saja, bagaimana kegiatannya, apakah ada konflik dengan tawanan lainnya, dan lain sebagainya.
Selain adu tinju yang tidak terlalu membahayakan nyawa, tidak ada kabar terbaru. Garvi biasanya dibiarkan untuk melihat dari CCTV bagaimana keadaan ibunya. Memar di wajah adalah hal yang lumrah ada. Beberapa kali ibunya bersih dari lebam dan luka-luka, tentunya hal itu mengejutkan bagi Garvi.
Para penjaga sudah hapal apa yang Garvi lakukan di lapas, biar pun begitu, mereka akan selalu bertanya, "Mau nitip pesan? Mau ketemu sebentar buat ngobrol?"
Jawaban Garvi selalu sama, "Nggak, pak. Nggak usah bilang saya mampir juga. Saya cuma pengin lihat ibu saja. Makasih ya, pak."
Obrolan Garvi dengan penjaga selalu sama dan tidak pernah berubah. Kecuali kemarin. "Nggak mau ngobrol bentar aja sama ibumu, mas? Napi yang lain pada diajak dijenguk, dikasih buku, selimut, lho. Cuma Virdha yang nggak dapat apa-apa dari keluarganya."
Garvi terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Selama diam beberapa saat, penjaga lapas baru teringat apa penyebab Virdha, ibunya Garvi masuk penjara.
"Eh maaf, mas."
"Nggak apa-apa, pak."
Mungkin memang seharusnya tidak ada yang menjenguk ibu. Mungkin biar saja ibu membusuk di sana. Tapi entah dorongan apa yang membuat Garvi ingin terus melihat keadaan ibunya. Apakah ia ingin melihat ibunya tersiksa? Apakah dirinya ingin datang ke lapas dengan kabar ibunya sudah mati ditikam napi lain? Tidak. Apakah ia ingin permintaan maaf dari ibunya? Mungkin. Tapi ia tidak tahu pasti. Sejujurnya melihatnya dari CCTV saja membuat Garvi naik pitam, apalagi mendengar suaranya. Tetapi kalau Garvi sudah lama tidak pergi ke lapas, ia merasa ada hal yang mengganjal.
Apa mungkin karena Virdha adalah keluarga inti Garvi? Keluarga? Garvi harus memejamkan mata dan menenangkan pikirannya ketika ia sudah mendengar kata yang tidak mungkin disangkutpautkan dengan ibunya.
Tapi bagaimana pun, Garvi memiliki pertalian darah yang kuat dengan ibunya. Lantas mengapa Garvi dan Arunika harus menjadi korban?
Garvi tentu tidak ingin mengingat kejadian 2 dekade silam. Tapi sebesar apapun usahanya untuk melupakan, ia tidak dapat pernah mampu melakukannya. Setiap kali mengunjungi makam Arunika, Garvi teringat akan kenangannya dan yang muncul adalah perasaan bersalah. Tetapi setiap kali ia pergi ke lapas untuk melihat ibunya lalu pulang ke rumah, yang tersisa adalah rasa amarah.
Sudah dua puluh tahun berlalu, tapi Garvi masih ingat jelas pesan kakak perempuannya itu. "Jadi laki-laki harus kuat, Vi. Nggak apa-apa nangis, tapi kamu harus tahan, ya. Kamu juga harus tahu, kalau kamu bukan sebuah kesalahan." Suara Arunika bergetar.
Bagi Garvi kecil, kalimat kakaknya masih terlalu rumit untuk dipahami. Mungkin karena kakaknya sudah berusia 18 tahun ia sudah mengerti bagaimana kehidupan ini berlangsung.
"Tapi kenapa ibu mukul Garvi keras sekali, kak?" Mata Garvi masih sembab karena meringis akibat pukulan Virdha di tangan dan punggung. Arunika menahan air matanya untuk tidak keluar. Ia terus mengusap sambil mengoleskan minyak tawon ke bagian-bagian tubuh Garvi yang lebam dan bengkak. Sesekali Garvi mendesis karena lukanya perih.
"Maafkan ibu, ya Vi." Arunika tidak bisa menahan air matanya kembali. Ia sudah tahu pasti perlakuan Virdha memang tidak dapat dibenarkan. Tetapi ia juga mengerti mengapa ibunya selalu melakukan kekerasan dan melampiaskan amarahnya ke Garvi.
"Kenapa harus maafkan ibu, kak?" Garvi yang usianya lima tahun tentu tidak memahami mengapa orang yang memukul harus dimaafkan.
"Kakak ceritakan tentang ibu, Garvi bersedia menyimak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garvi Hinggap di Bulan
Romance"Jadi laki-laki harus kuat, Vi. Nggak apa-apa nangis, tapi kamu harus tahan, ya. Kamu juga harus tahu, kalau kamu bukan sebuah kesalahan." Suara Arunika bergetar. Itulah pesan almarhumah Arunika 20 tahun lalu kepada Garvi kecil. Kini saat ia sudah d...