Beginning

2.9K 153 17
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Beberapa tahun sebelum langit milik Azizi Bagaskara dan Angelina Christy Sasadira terbelah menjadi dua, untuk kedua kalinya.

Hampir genap tiga jam Yogyakarta diguyur hujan yang luar biasa lebat. Beberapa pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan setapak kecil di depan kompleks perumahan tempatnya tinggal bergerak tak tentu arah, mengikuti ke mana angin menerpa mereka hingga tajuk-tajuknya yang indah terpaksa merunduk mengikuti titah si batang kayu.

Azizi dengan motornya yang berwarna merah pudar berusaha mempertahankan keseimbangan dan keutuhan pandangan kala bulir-bulir air hujan yang ia rasa sebesar biji-biji jagung memukul wajah, mata, dan keningnya, menyapu jejak-jejak kusam akibat sisa-sisa oli yang tidak sengaja menempel di rahang dan di pipi saat tangannya mengusap keringat yang mengucur deras siang tadi.

Azizi hanya berdoa, semoga saja motornya yang tua ini tidak mati mendadak akibat mesinnya penuh dengan air hujan saat jarak rumahnya tinggal beberapa meter lagi.

Namun tampaknya, sekali lagi, pada saat-saat di mana katanya doa yang dilangitkan tak akan mungkin ditolak pun, doa Azizi yang satu ini tetap saja begitu sulit untuk Tuhan kabulkan. Motornya tiba-tiba saja mati karena mesin tua itu penuh dengan air hujan sore ini.

Azizi jelas mengumpat. Di tengah rasa menggigil dan lelahnya badan, ia masih dihadapkan pada kenyataan bahwa sejauh lima ratus meter ke depan, ia harus mengupayakan segenap sisa-sisa tenaganya mendorong motor ini agar sampai rumah.

Dengan helm yang masih bersarang di kepala dan kaus lusuh akibat noda-noda membandel, Azizi dorong motor tersebut. Tidak ada pilihan lain, tentu saja. Azizi tidak punya cukup sumber daya untuk memanggil montir ke lokasi di mana motornya mogok, apalagi meminta jemputan orang rumah.

Sama sekali tidak ada yang dapat Azizi mintai pertolongan, kecuali dirinya sendiri.

Lima belas menit berselang, langkah Azizi akhirnya berhenti juga di teras rumah. Badan besarnya yang tadi serasa dipukul-pukul oleh bulir-bulir air hujan hingga menimbulkan rasa tidak nyaman, akhirnya sirna juga. Berakhir dengan senyum sehangat mentari kala melihat sang istri keluar dari dalam rumah mereka dengan tatap penuh risau yang alasannya tentu dapat Azizi pahami.

"Kok, motornya enggak dinaikin aja? Mogok lagi?"

Azizi berdeham. Alisnya naik turun sebagai bentuk pengiyaan. "Iya. Kayanya gara-gara kemasukan air."

Istrinya, Angelina Christy Sasadira, melengkungkan bibir ke arah bawah. Bahunya turun saat mendengar jawaban dari sang suami. "Kasihan banget. Dingin?"

Azizi mengangguk. "Lumayan. Aku lewat samping, ya, Sayang, mandinya. Kalau kamu lagi enggak capek, tolong buatin kopi, ya, satu? Nanti aku peluknya kalau udah ganti baju sama bilas."

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang